Di tengah ketidakstabilan geopolitik dan ekonomi global, emas kembali merebut perhatian sebagai aset lindung nilai klasik. Lonjakan harga emas spot hampir satu persen mencerminkan bukan sekadar reaksi terhadap perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok, tetapi sinyal bahwa pasar tengah mendefinisikan ulang peran logam mulia dalam peta ekonomi yang semakin tidak menentu.
Ultimatum Presiden AS Donald Trump kepada Tiongkok soal tarif balasan menjadi pemicu kekhawatiran global. Pernyataan tersebut mengguncang pasar, bukan karena mengejutkan, tapi karena skala dan waktunya yang memaksa pelaku pasar menilai ulang landasan fundamental perdagangan internasional. Harga emas pun melesat, menembus angka 3.000 dolar AS per ons, setelah sempat menyentuh titik terendah dalam empat pekan terakhir.
Emas kini dipandang bukan hanya sebagai pelindung dari inflasi atau gejolak jangka pendek, melainkan sebagai jangkar nilai dalam sistem yang tengah mencari keseimbangan baru. Banyak investor mulai menyisihkan 5 hingga 10 persen portofolio mereka untuk eksposur terhadap emas spot, sebagai bentuk kesiapan menghadapi ketidakpastian yang tak lagi bisa dijawab oleh teori ekonomi lama.
Sementara itu, Bitcoin—yang sering disebut sebagai emas digital—mengalami fase konsolidasi. Setelah terkoreksi hingga 30 persen dari puncaknya, Bitcoin mulai menunjukkan pemulihan. Lonjakan indikator Coin Days Destroyed menandakan aktivitas profit taking dari investor jangka panjang. Namun, hal ini lebih merefleksikan proses penyaringan alami pasar menuju penguatan yang lebih sehat.
Baik emas maupun Bitcoin, kini bukan sekadar alat spekulasi atau pelindung nilai. Keduanya mencerminkan cara manusia modern memahami nilai di era penuh disrupsi ini.