Analis mata uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyebut bahwa penguatan rupiah terhadap dolar AS dipicu oleh pernyataan dovish dari Federal Reserve (The Fed). Ketua The Fed, Jerome Powell, menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari 2,1 persen menjadi 1,7 persen serta mengisyaratkan kemungkinan pemangkasan suku bunga dua kali tahun ini. Proyeksi ini membuat dolar AS melemah, memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat. Selain itu, suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) yang sebelumnya berada di kisaran 4,25–4,50 basis poin diperkirakan akan turun menjadi 3,75–4,00 basis poin dalam waktu dekat.
Meskipun demikian, tekanan ekonomi global masih menjadi faktor yang perlu diwaspadai. Risiko resesi meningkat akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang agresif, terutama terkait tarif impor yang dapat memperburuk inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, investor cenderung beralih ke aset safe haven seperti emas, sementara pasar keuangan tetap mencermati kebijakan The Fed mengenai suku bunga pada semester kedua tahun ini.
Di sisi domestik, sentimen pasar masih belum sepenuhnya pulih, membatasi potensi penguatan rupiah. Pada Selasa lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat melakukan trading halt pada pukul 11.19 WIB akibat penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 5 persen. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan ini meliputi kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi, defisit anggaran, revisi peringkat saham, hingga isu pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dengan kondisi tersebut, nilai tukar rupiah diprediksi bergerak dalam rentang Rp16.400–Rp16.550 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan Kamis pagi, rupiah terpantau melemah sebesar 38 poin atau 0,23 persen menjadi Rp16.493 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.531 per dolar AS.