Indonesia Percepat Aksesi OECD Demi Wujudkan Indonesia Emas 2045

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengajak para duta besar dari negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) untuk mempercepat proses aksesi Indonesia. Ajakan ini disampaikan dalam pertemuan dengan sejumlah perwakilan negara OECD di Wisma Kedutaan Besar Republik Indonesia di Paris, Prancis, pada Selasa malam (4/3). Airlangga menyatakan bahwa Indonesia bangga menjadi negara ASEAN pertama yang menjalani proses aksesi OECD. Keanggotaan ini diharapkan dapat mendukung target besar Indonesia Emas 2045 dengan meningkatkan daya saing, produktivitas, serta investasi guna menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Langkah strategis Indonesia dalam bergabung dengan OECD juga menginspirasi negara ASEAN lainnya, seperti Thailand yang mengikuti jejak serupa pada Juni 2024. Airlangga menegaskan bahwa pemerintah saat ini memprioritaskan peningkatan daya saing, produktivitas, dan investasi guna mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen secara bertahap. Bergabungnya Indonesia dengan OECD akan mempercepat transformasi struktural, memperluas akses pasar, meningkatkan permodalan, serta memperkuat keterampilan dan teknologi. Transformasi ini dinilai krusial agar Indonesia dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 6-8 persen dalam 20 tahun ke depan, sehingga dapat keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.

Pemerintah menargetkan proses aksesi OECD rampung dalam tiga hingga empat tahun mendatang. Untuk menjaga momentum ini, aksesi Indonesia ke OECD telah dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Dalam waktu dekat, Indonesia akan mengajukan draf Initial Memorandum sebelum Juni 2025 sebagai langkah awal menuju Peta Jalan Aksesi pada Pertemuan Dewan OECD Tingkat Menteri di bulan yang sama. Airlangga menekankan bahwa Indonesia akan segera menyelaraskan berbagai substansi instrumen OECD. Tim Nasional OECD juga telah mengidentifikasi kebutuhan peningkatan kapasitas, proses implementasi menyeluruh, serta potensi penguatan kemitraan dengan berbagai pihak.

Dalam kesempatan ini, Airlangga membuka peluang kerja sama dengan negara-negara OECD untuk mendukung aksesi Indonesia, termasuk melalui seminar, pendampingan teknis, serta penempatan perwakilan Indonesia di Sekretariat OECD. Ia menegaskan bahwa penguatan hubungan antara Indonesia, negara anggota OECD, dan Sekretariat OECD di Paris sangat krusial dalam mempercepat aksesi. Pada pertemuan ini, Airlangga didampingi oleh Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono Moegiarso; Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi dan Investasi, Edi Prio Pambudi; serta Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral, Ferry Ardiyanto.

Airlangga Pastikan Tidak Ada Bailout Untuk Sritex

Pada tanggal 3 November 2024, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengkonfirmasi bahwa pemerintah tidak akan memberikan bailout kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex), perusahaan tekstil besar yang tengah mengalami kesulitan finansial. Pernyataan ini penting untuk memberikan kejelasan kepada pasar dan stakeholder mengenai langkah pemerintah terkait perusahaan yang memiliki peranan besar dalam industri tekstil nasional.

Airlangga menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak memberikan bailout diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak jangka panjang terhadap anggaran negara dan prinsip keberlanjutan bisnis. Pemerintah berkomitmen untuk mendorong perusahaan agar lebih mandiri dan tidak bergantung pada dana publik untuk mengatasi masalah keuangan mereka.

Sebagai alternatif, Airlangga mendorong Sritex untuk melakukan restrukturisasi internal sebagai solusi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi. Dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap operasi dan keuangan, perusahaan diharapkan dapat menemukan cara untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Hal ini menjadi penting agar Sritex dapat bertahan di pasar yang semakin kompetitif.

Menko Perekonomian juga menekankan pentingnya dukungan dari sektor swasta dalam proses pemulihan Sritex. Investasi dan kemitraan dengan pihak swasta dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah likuiditas yang dihadapi perusahaan. Dengan melibatkan sektor swasta, diharapkan akan ada sinergi yang positif dalam mengembangkan industri tekstil nasional.

Pemerintah akan terus memantau perkembangan Sritex dan memberikan dukungan dalam bentuk bimbingan dan kebijakan yang mendukung. Meski tidak ada bailout, langkah-langkah strategis akan diambil untuk membantu perusahaan agar dapat beradaptasi dan berkembang. Ini termasuk memberikan akses pada pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk karyawan.

Dengan keputusan untuk tidak memberikan bailout, pemerintah berharap Sritex dapat bangkit dan bertransformasi menjadi perusahaan yang lebih kuat dan mandiri. Langkah ini diharapkan tidak hanya menyelamatkan Sritex, tetapi juga memberikan dampak positif bagi industri tekstil nasional secara keseluruhan. Melalui restrukturisasi dan kolaborasi dengan sektor swasta, masa depan yang lebih cerah bagi Sritex dan industri tekstil Indonesia diharapkan dapat terwujud.