Deflasi Tahunan Pertama dalam 25 Tahun, BI Pastikan Daya Beli Tetap Stabil

Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa deflasi tahunan yang terjadi pada Februari 2025 tidak mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen secara tahunan (year on year/yoy), yang merupakan pertama kalinya sejak tahun 2000 atau dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, menjelaskan bahwa daya beli masyarakat biasanya diukur melalui inflasi inti, karena indikator ini lebih merefleksikan interaksi antara permintaan dan penawaran dalam perekonomian. Ia menyebutkan bahwa inflasi inti pada Februari 2025 masih berada di level yang stabil, yakni sekitar 2,48 persen secara tahunan.

Juli juga menambahkan bahwa konsumsi rumah tangga, berdasarkan data BPS pada kuartal IV 2024 dan sepanjang tahun 2024, masih tumbuh di kisaran 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi konsumsi masyarakat, masih cukup baik. Menurutnya, deflasi yang terjadi dalam dua bulan berturut-turut, yakni Januari dan Februari 2025, bukan disebabkan oleh menurunnya daya beli, melainkan karena kebijakan pemerintah terkait diskon tarif listrik. Penurunan harga yang terjadi pada kelompok administered price atau harga yang diatur pemerintah menjadi faktor utama penyebab deflasi tersebut. Meski demikian, inflasi tahunan Indonesia masih berada dalam target, yakni sekitar 2 persen.

Sementara itu, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa deflasi bulanan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,48 persen. Ia menuturkan bahwa penurunan harga sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang masih berlangsung hingga Februari 2025. Meski demikian, komponen harga bergejolak tetap mengalami inflasi sebesar 1,58 persen, yang dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas seperti cabai rawit, bawang putih, bawang merah, dan kangkung.

Langkah Berani Prabowo: Pangkas APBN Rp306 Triliun, Efisiensi atau Ancaman Ekonomi?

Presiden Prabowo Subianto mengambil kebijakan drastis dalam pengelolaan anggaran negara dengan melakukan penghematan besar-besaran pada APBN 2025. Lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah menetapkan efisiensi belanja negara dan daerah hingga mencapai Rp306,69 triliun. Kebijakan ini dilakukan guna mendukung program-program prioritas, termasuk makan bergizi gratis, serta memenuhi kewajiban pembayaran utang jatuh tempo yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan mengarahkan anggaran agar lebih efisien dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Selain untuk mendanai program sosial, pemerintah juga harus menghadapi beban utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun pada 2025, dengan bunga utang mencapai Rp552,9 triliun. Secara total, pemerintahan Prabowo harus melunasi lebih dari Rp1.353 triliun utang pada tahun pertamanya.

Namun, kebijakan pemangkasan anggaran ini menuai kritik, terutama karena dilakukan secara mendadak dan tidak transparan. Sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mengeluhkan pemotongan anggaran yang tiba-tiba, seperti hilangnya Rp81 triliun tanpa kejelasan mekanisme pengurangannya. Bahkan, muncul kekhawatiran bahwa gaji ke-13 dan THR untuk PNS akan dipangkas, meskipun Sri Mulyani telah membantah isu tersebut.

Ekonom Muhammad Andri Perdana menilai bahwa kewenangan Kementerian Keuangan yang begitu besar dalam mengatur anggaran tanpa melalui persetujuan DPR dapat mencederai prinsip pemisahan kekuasaan (Trias Politika). Sementara itu, ekonom dari Next Policy, Shofie Azzahrah, memperingatkan bahwa pemangkasan anggaran yang tidak terarah dapat berdampak luas pada kesejahteraan PNS, operasional kementerian, dan bahkan menciptakan gelombang PHK tenaga honorer.

Selain itu, penghematan ini juga berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan belanja pemerintah sebagai salah satu motor utama perekonomian, pemangkasan anggaran yang agresif bisa menekan daya beli masyarakat, melemahkan sektor usaha, dan meningkatkan angka pengangguran. Jika tidak dilakukan dengan cermat, dampaknya bisa menjalar ke sektor ritel, UMKM, manufaktur, hingga menurunkan kepercayaan investor terhadap Indonesia.

Salah satu langkah efisiensi yang dilakukan adalah pemotongan anggaran perjalanan dinas. Namun, Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa memukul sektor perhotelan, transportasi, dan MICE (Meeting, Incentives, Conventions, and Exhibitions), yang selama ini bergantung pada aktivitas perjalanan dinas pemerintah. Jika dilakukan secara ekstrem, bisa terjadi gelombang PHK di industri perhotelan dan pariwisata.

Para ekonom menyarankan agar efisiensi dilakukan secara selektif tanpa mengorbankan sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Nailul Huda juga menyoroti keberadaan wakil menteri yang dinilai tidak esensial dan dapat dihapus sebagai bagian dari penghematan. Ia mengingatkan bahwa jika pemangkasan dilakukan secara serampangan, ambisi Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen bisa berakhir dengan stagnasi di bawah 5 persen.