Pelaporan SPT Tahunan Tembus 13 Juta, DJP Apresiasi Wajib Pajak yang Taat

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa hingga 11 April 2025 pukul 23.59 WIB, sebanyak 13 juta wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 3,26 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Dari total tersebut, 12,63 juta merupakan SPT dari wajib pajak orang pribadi, sementara 380,53 ribu berasal dari wajib pajak badan.

Mayoritas pelaporan dilakukan secara elektronik. Tercatat sebanyak 10,98 juta SPT disampaikan melalui e-filing, 1,49 juta menggunakan e-form, dan 630 melalui e-SPT. Adapun pelaporan secara manual ke kantor pelayanan pajak dilakukan oleh sekitar 537,92 ribu wajib pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyampaikan bahwa lonjakan pelaporan ini tak lepas dari kebijakan relaksasi yang diberikan pemerintah. Berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak Nomor 79/PJ/2025 tertanggal 25 Maret 2025, pemerintah menghapus sanksi keterlambatan untuk pelaporan dan pembayaran pajak yang dilakukan hingga 11 April 2025. Kebijakan ini muncul karena tenggat pelaporan bersinggungan dengan libur panjang Nyepi dan Idulfitri, sehingga mengurangi hari kerja pada akhir Maret.

Sebagai bentuk relaksasi, keterlambatan pelaporan dan pembayaran PPh Pasal 29 setelah 31 Maret hingga 11 April tidak dikenai sanksi administrasi, dan Surat Tagihan Pajak (STP) tidak akan diterbitkan. DJP menargetkan sebanyak 16,21 juta SPT dilaporkan sepanjang tahun 2025, dengan tingkat kepatuhan sekitar 81,92 persen dari total wajib pajak. Dwi mengimbau wajib pajak yang belum melapor untuk segera menyelesaikan kewajibannya, sembari menyampaikan apresiasi kepada yang telah patuh.

Pelaporan SPT Capai 12,34 Juta, Pemerintah Beri Kelonggaran hingga 11 April

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga 1 April 2025, jumlah wajib pajak yang telah melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2024 mencapai 12,34 juta. Dari jumlah tersebut, sebanyak 12 juta berasal dari wajib pajak orang pribadi, sementara 338,2 ribu merupakan SPT wajib pajak badan.

Sebagian besar pelaporan dilakukan melalui sarana elektronik, dengan rincian 10,56 juta SPT dikirim menggunakan e-filing, 1,33 juta melalui e-form, dan 629 menggunakan e-SPT. Sementara itu, sebanyak 446,23 ribu SPT masih disampaikan secara manual di Kantor Pelayanan Pajak.

Menimbang adanya libur panjang Hari Raya Nyepi dan Idul Fitri, Pemerintah melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 79/PJ/2025 tertanggal 25 Maret 2025, memutuskan untuk menghapus sanksi administratif bagi keterlambatan pembayaran dan pelaporan pajak hingga 11 April 2025. Kebijakan ini diambil karena terbatasnya hari kerja di bulan Maret, yang dapat menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran PPh Pasal 29 dan pelaporan SPT Tahunan.

Batas waktu normal pelaporan SPT bagi wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret. Namun, karena cuti bersama berlangsung hingga 7 April, pemerintah memberikan relaksasi tanpa menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) bagi wajib pajak yang melaporkan SPT setelah tenggat waktu hingga 11 April 2025.

DJP menargetkan tingkat kepatuhan pelaporan SPT pada 2025 mencapai 16,21 juta, atau setara dengan 81,92 persen dari total wajib pajak. DJP juga mengimbau wajib pajak yang belum melapor agar segera memenuhi kewajiban mereka dan mengapresiasi mereka yang telah patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakan.

Rupiah Terancam Rp 17.000 per Dolar AS, Pelaporan SPT Diperpanjang

Pemerintah secara resmi memperpanjang batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi hingga 11 April 2025. Keputusan ini diatur dalam Kepdirjen Pajak Nomor 79/PJ/2025, yang menghapus sanksi administratif bagi wajib pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahun Pajak 2024. Perpanjangan tenggat waktu dilakukan karena batas pelaporan sebelumnya, yaitu 31 Maret 2025, bertepatan dengan libur nasional dan cuti bersama Hari Raya Idulfitri serta Hari Suci Nyepi. Pemerintah ingin memastikan wajib pajak dapat memenuhi kewajibannya tanpa hambatan serta memberikan kepastian hukum dengan menghapus sanksi keterlambatan pembayaran PPh Pasal 29.

Sementara itu, nilai tukar rupiah diperkirakan masih berpotensi melemah hingga menyentuh angka Rp 17.000 per dolar AS. Pengamat pasar uang dari Investindo, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa sejumlah faktor negatif masih membayangi pergerakan rupiah. Salah satu penyebab utama adalah perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump, yang berpotensi menurunkan aktivitas perdagangan global. Selain itu, ketidakstabilan geopolitik akibat konflik di Timur Tengah serta perang Rusia-Ukraina juga memperburuk ketidakpastian di pasar keuangan dunia. Dari dalam negeri, optimisme pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia justru memberi tekanan tambahan bagi rupiah. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah sempat menguat 27 poin atau 0,16 persen menjadi Rp 16.584 per dolar AS pada Rabu (26/3) pukul 11.52 WIB. Namun, sehari sebelumnya, rupiah ditutup melemah 44 poin atau 0,27 persen ke Rp 16.611 per dolar AS.