Rupiah Diam di Tempat, Pasar Tunggu Keputusan BI di Tengah Ketidakpastian Global

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tercatat tidak bergerak banyak menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang dijadwalkan sore ini, Rabu, 23 April 2025. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah dibuka stabil di angka Rp16.850 per dolar AS, menunjukkan stagnansi alias tidak mengalami perubahan dibandingkan hari sebelumnya. Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) tercatat naik tipis sebesar 0,17% ke level 99,08, meningkat dari posisi penutupan sebelumnya di angka 98,92.

Pasar keuangan saat ini tengah menanti keputusan penting dari BI, khususnya mengenai arah suku bunga acuan atau BI rate di tengah tekanan global yang masih belum reda. Ketegangan geopolitik dan perang dagang yang melibatkan Amerika Serikat menjadi faktor utama yang menimbulkan ketidakpastian di pasar global. Pada bulan Maret 2025 lalu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga di level 5,75%, sesuai ekspektasi mayoritas analis.

Dalam survei yang dilakukan CNBC Indonesia terhadap 19 institusi, mayoritas memprediksi BI akan kembali mempertahankan suku bunga pada tingkat yang sama bulan ini. Namun, terdapat tiga institusi yang memperkirakan adanya potensi penurunan suku bunga ke 5,50%. Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar cenderung menahan diri, sambil memantau perkembangan kebijakan moneter.

Di sisi lain, laporan terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7% untuk tahun 2025 dan 2026 semakin menambah kekhawatiran akan perlambatan ekonomi. Proyeksi ini lebih rendah dari ramalan awal tahun yang menyebut angka 5,1%, dan menambah tekanan terhadap rupiah serta stabilitas ekonomi nasional.

Judul: Rupiah Menguat Tipis, Dolar AS Melemah Usai Inflasi Melandai

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan penguatan tipis pada Jumat (11/4/2025) usai dirilisnya data inflasi AS yang berada di bawah proyeksi pasar. Mengacu pada data Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp16.790 per dolar AS, menguat 0,03% dibanding hari sebelumnya. Pada Kamis (10/4/2025), rupiah juga ditutup menguat ke posisi Rp16.795 per dolar AS atau naik 0,39%. Namun, jika dilihat secara mingguan, mata uang Garuda masih tercatat melemah sekitar 1,42%.

Pelemahan dolar AS turut terlihat dari indeks dolar (DXY) yang pada pukul 14:54 WIB tercatat turun hingga 0,92% ke level 99,94. Ini menunjukkan penurunan cukup signifikan dibandingkan penutupan hari sebelumnya yang berada di level 100,87. Penurunan DXY terjadi bersamaan dengan laporan inflasi AS yang menunjukkan pelambatan. Inflasi tahunan AS pada Maret 2025 tercatat hanya sebesar 2,4% secara year-on-year (yoy), turun dari angka 2,8% di Februari dan berada di bawah ekspektasi analis sebesar 2,6%.

Faktor lainnya yang turut memengaruhi nilai tukar adalah meredanya ketegangan akibat tarif dagang yang diinisiasi oleh mantan Presiden Donald Trump. Ia memutuskan untuk menunda pemberlakuan tarif baru selama 90 hari untuk sebagian besar negara. Keputusan ini diambil karena lebih dari 75 mitra dagang tidak melakukan pembalasan dan menunjukkan itikad baik untuk bernegosiasi. Sentimen positif dari kondisi tersebut menjadi angin segar bagi rupiah untuk tetap bertahan di jalur penguatan.

Rupiah Tertekan, Dampak Tarif Baru AS Makin Memberatkan

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan hebat akibat kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Menurut analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, kebijakan tarif sebesar 32 persen terhadap Indonesia membuat rupiah berada dalam kondisi yang cukup berat. Ia menilai bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena dampak signifikan akibat tarif resiprokal yang cukup besar.

Pada Rabu, Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan penerapan tarif tambahan sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi defisit perdagangan global. Salah satu kebijakan yang diberlakukan adalah tarif tambahan sebesar 25 persen untuk semua mobil yang diproduksi di luar AS, yang mulai efektif hari ini. Kebijakan tersebut dinilai lebih agresif dari perkiraan sebelumnya, sehingga memicu ketidakpastian di pasar keuangan global.

Lukman memperkirakan bahwa rupiah akan kembali mengalami pelemahan dan cenderung berfluktuasi tajam. Selain itu, Bank Indonesia kemungkinan besar akan melakukan intervensi untuk menstabilkan nilai tukar. Saat ini, indeks dolar AS terpantau mengalami volatilitas tinggi, seiring dengan sentimen negatif yang semakin menguat di pasar global akibat kebijakan tersebut. Kondisi pasar yang tidak menentu membuat investor cenderung menghindari risiko, yang turut memperburuk tekanan pada rupiah.

Berdasarkan perkembangan tersebut, rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp16.600 hingga Rp16.900 per dolar AS pada perdagangan hari ini. Saat pembukaan perdagangan Kamis pagi di Jakarta, nilai tukar rupiah melemah sebesar 59 poin atau turun 0,36 persen menjadi Rp16.772 per dolar AS dari posisi sebelumnya di Rp16.713 per dolar AS.

Rupiah Terancam Rp 17.000 per Dolar AS, Pelaporan SPT Diperpanjang

Pemerintah secara resmi memperpanjang batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak Orang Pribadi hingga 11 April 2025. Keputusan ini diatur dalam Kepdirjen Pajak Nomor 79/PJ/2025, yang menghapus sanksi administratif bagi wajib pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahun Pajak 2024. Perpanjangan tenggat waktu dilakukan karena batas pelaporan sebelumnya, yaitu 31 Maret 2025, bertepatan dengan libur nasional dan cuti bersama Hari Raya Idulfitri serta Hari Suci Nyepi. Pemerintah ingin memastikan wajib pajak dapat memenuhi kewajibannya tanpa hambatan serta memberikan kepastian hukum dengan menghapus sanksi keterlambatan pembayaran PPh Pasal 29.

Sementara itu, nilai tukar rupiah diperkirakan masih berpotensi melemah hingga menyentuh angka Rp 17.000 per dolar AS. Pengamat pasar uang dari Investindo, Ariston Tjendra, mengungkapkan bahwa sejumlah faktor negatif masih membayangi pergerakan rupiah. Salah satu penyebab utama adalah perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump, yang berpotensi menurunkan aktivitas perdagangan global. Selain itu, ketidakstabilan geopolitik akibat konflik di Timur Tengah serta perang Rusia-Ukraina juga memperburuk ketidakpastian di pasar keuangan dunia. Dari dalam negeri, optimisme pasar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia justru memberi tekanan tambahan bagi rupiah. Berdasarkan data Bloomberg, rupiah sempat menguat 27 poin atau 0,16 persen menjadi Rp 16.584 per dolar AS pada Rabu (26/3) pukul 11.52 WIB. Namun, sehari sebelumnya, rupiah ditutup melemah 44 poin atau 0,27 persen ke Rp 16.611 per dolar AS.

Rupiah Menguat di Tengah Sentimen Dovish The Fed, Tapi Masih Dihantui Faktor Domestik

Analis mata uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyebut bahwa penguatan rupiah terhadap dolar AS dipicu oleh pernyataan dovish dari Federal Reserve (The Fed). Ketua The Fed, Jerome Powell, menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari 2,1 persen menjadi 1,7 persen serta mengisyaratkan kemungkinan pemangkasan suku bunga dua kali tahun ini. Proyeksi ini membuat dolar AS melemah, memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat. Selain itu, suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) yang sebelumnya berada di kisaran 4,25–4,50 basis poin diperkirakan akan turun menjadi 3,75–4,00 basis poin dalam waktu dekat.

Meskipun demikian, tekanan ekonomi global masih menjadi faktor yang perlu diwaspadai. Risiko resesi meningkat akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang agresif, terutama terkait tarif impor yang dapat memperburuk inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, investor cenderung beralih ke aset safe haven seperti emas, sementara pasar keuangan tetap mencermati kebijakan The Fed mengenai suku bunga pada semester kedua tahun ini.

Di sisi domestik, sentimen pasar masih belum sepenuhnya pulih, membatasi potensi penguatan rupiah. Pada Selasa lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat melakukan trading halt pada pukul 11.19 WIB akibat penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 5 persen. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan ini meliputi kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi, defisit anggaran, revisi peringkat saham, hingga isu pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dengan kondisi tersebut, nilai tukar rupiah diprediksi bergerak dalam rentang Rp16.400–Rp16.550 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan Kamis pagi, rupiah terpantau melemah sebesar 38 poin atau 0,23 persen menjadi Rp16.493 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.531 per dolar AS.

Rupiah Melemah di Akhir Pekan, Sentimen Global Masih Menekan

Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan pada pembukaan perdagangan Jumat di Jakarta. Mata uang Garuda terkoreksi 89 poin atau sekitar 0,54 persen, turun ke level Rp16.543 per dolar Amerika Serikat (AS) dari posisi sebelumnya di Rp16.454 per dolar AS. Pelemahan ini mencerminkan tekanan eksternal yang masih membayangi pasar keuangan Indonesia.

Faktor utama yang mendorong pelemahan rupiah adalah penguatan dolar AS yang didukung oleh kebijakan moneter ketat The Federal Reserve. Bank sentral AS masih mempertahankan suku bunga tinggi guna mengendalikan inflasi, yang membuat aset berdenominasi dolar lebih menarik bagi investor. Selain itu, ketidakpastian ekonomi global akibat ketegangan geopolitik serta fluktuasi harga komoditas turut memengaruhi pergerakan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Dari dalam negeri, investor masih mencermati langkah Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Meskipun intervensi di pasar valas dan kebijakan suku bunga tetap dilakukan, tekanan eksternal yang kuat membuat rupiah belum mampu menguat signifikan. Pasar juga menunggu rilis data ekonomi domestik yang dapat memberikan gambaran mengenai prospek pertumbuhan di tengah kondisi global yang menantang.

Seiring dengan pelemahan ini, pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap volatilitas nilai tukar. Investor disarankan untuk mencermati perkembangan ekonomi global dan kebijakan bank sentral yang dapat memengaruhi pergerakan rupiah dalam jangka pendek. Dengan ketidakpastian yang masih tinggi, stabilitas ekonomi makro menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan pasar terhadap rupiah.