Rupiah Tertekan, Ekonomi “Kurang Darah” di Tengah Kebijakan BI yang Tertahan

Nilai tukar rupiah kembali melemah pada Rabu di tengah kondisi likuiditas ekonomi domestik yang sangat terbatas. Rully Nova, analis dari Bank Woori Saudara, menyebut bahwa perekonomian saat ini tengah mengalami krisis likuiditas, diibaratkan seperti tubuh yang kekurangan darah. Menurutnya, kondisi ini bisa menimbulkan stagnasi ekonomi jika tidak segera diatasi.

Ia menyarankan perlunya langkah kebijakan yang inovatif guna mendorong kelancaran arus dana dan menggairahkan kembali aktivitas ekonomi. Dalam analogi yang ia sampaikan, kredit bank adalah darah dan bank adalah jantung. Sayangnya, jantung perekonomian saat ini dinilainya sedang tidak berfungsi optimal, menandakan lemahnya dorongan dari sektor perbankan.

Sementara itu, Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung pada 22 dan 23 April 2025, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 5,75 persen. Suku bunga untuk fasilitas simpanan tetap di 5 persen, sedangkan fasilitas pinjaman tetap berada di angka 6,5 persen. Meski keputusan ini dinilai tepat, Rully menilai kebijakan tersebut belum memberikan pengaruh positif terhadap penguatan nilai rupiah.

Dari sisi lain, pasar saham Indonesia mulai menunjukkan pemulihan dengan kenaikan 1,2 persen di sesi pertama perdagangan, dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun juga menurun ke level 6,951 persen, menandakan berakhirnya aksi jual investor asing. Namun, dari sisi global, indeks dolar AS meningkat ke angka 100, naik 1 persen dari hari sebelumnya, turut menekan posisi rupiah yang ditutup melemah 12 poin ke Rp16.872 per dolar AS. Kurs JISDOR juga mencatat pelemahan ke level Rp16.880 per dolar.

Rupiah Tertekan di Tengah Perang Dagang AS-China dan Guncangan di The Fed

Pelemahan nilai tukar rupiah kembali terjadi, dan kali ini dipicu oleh eskalasi ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Direktur Laba Forexindo Berjangka sekaligus pengamat mata uang, Ibrahim Assuabi, menilai bahwa tekanan pada rupiah berasal dari langkah keras China dalam menanggapi kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Negeri Tirai Bambu disebut telah memberikan peringatan tegas kepada negara-negara yang menjalin kesepakatan perdagangan dengan AS, yang dianggap merugikan kepentingan China.

Kementerian Perdagangan China mengungkapkan bahwa AS terus menggunakan tarif dan sanksi finansial sebagai alat untuk menekan negara-negara mitra dagang agar membatasi hubungan mereka dengan China. Tindakan ini dibalas oleh China dengan mengenakan tarif balasan sebesar 125 persen, setelah sebelumnya AS menaikkan tarif hingga 145 persen terhadap produk-produk asal China. Situasi ini menciptakan kekhawatiran di pasar global, termasuk Indonesia, karena memicu gejolak ekonomi dan ketidakpastian dalam rantai perdagangan internasional.

Selain faktor eksternal dari konflik dagang, pasar juga gelisah akibat rencana Presiden Donald Trump untuk melakukan restrukturisasi Federal Reserve dan memecat Gubernur Jerome Powell. Trump menilai bahwa bank sentral perlu segera memangkas suku bunga agar ekonomi AS tidak melambat. Namun, Powell tetap bersikukuh bahwa belum ada alasan kuat untuk memotong suku bunga, mengingat tekanan inflasi dan ketidakpastian kebijakan tarif yang terus berkembang.

Situasi ini berdampak langsung pada nilai tukar rupiah. Pada penutupan perdagangan hari ini, rupiah melemah sebesar 53 poin atau 0,32 persen menjadi Rp16.860 per dolar AS, dari posisi sebelumnya Rp16.807. Sementara itu, kurs referensi JISDOR Bank Indonesia juga mencatat pelemahan rupiah ke angka Rp16.862 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.808.

BI Diprediksi Tahan Suku Bunga di 5,75 Persen, Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuannya pada level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2025. Menurutnya, meskipun inflasi saat ini masih berada di bawah target 2,5 persen plus minus 1 persen, tekanan harga yang meningkat selama periode Ramadhan dan Idul Fitri dapat mendorong inflasi kembali ke kisaran target dalam beberapa bulan mendatang. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang stabil dinilai lebih tepat dalam menjaga keseimbangan ekonomi.

Selain faktor domestik, Riefky juga menyoroti risiko eksternal yang dapat mempengaruhi keputusan BI. Ketidakpastian di pasar keuangan global, terutama akibat kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang memicu ketegangan tarif dengan Uni Eropa dan negara-negara di Amerika Utara, menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan. Di sisi lain, Federal Reserve (The Fed) masih bersikap hati-hati terhadap pelonggaran moneter, sementara ketidakpastian kebijakan ekonomi AS menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Riefky menegaskan bahwa keputusan The Fed terkait suku bunga akan diumumkan dalam waktu yang berdekatan dengan pertemuan BI. Jika BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga, hal tersebut berpotensi memperlemah rupiah lebih lanjut. Oleh karena itu, menurutnya, menjaga stabilitas nilai tukar dan ketahanan pasar keuangan harus menjadi prioritas utama bagi BI dengan tetap mempertahankan suku bunga di level saat ini.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Chief Economist Bank BCA David Sumual, yang menilai bahwa deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir hanya bersifat sementara. Dengan masih adanya ketidakpastian terkait perang dagang dan kebijakan suku bunga The Fed, sementara rupiah masih berada di bawah tekanan, mempertahankan suku bunga BI di level 5,75 persen dinilai sebagai langkah yang paling bijak untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Investor Diminta Siapkan Strategi Adaptif di Tengah Ketidakpastian Global

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat perang tarif, volatilitas pasar keuangan, dan kebijakan moneter yang belum pasti, investor perlu menerapkan strategi investasi yang lebih adaptif. Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada keseimbangan antara konsumsi domestik dan investasi jangka panjang.

Menurutnya, konsumsi dalam negeri masih melemah, terlihat dari kontribusi konsumsi terhadap PDB yang sebelum pandemi berada di kisaran 55-58 persen, namun kini turun menjadi 54 persen. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk menopang daya beli masyarakat, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), kenaikan upah minimum, penyesuaian gaji aparatur sipil negara (ASN), serta pembatalan kenaikan PPN. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, mengingat konsumsi berkontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, investasi tetap menjadi prioritas utama untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sebesar 8 persen guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional di level yang sama. Salah satu kebijakan strategis yang diterapkan adalah pembentukan Danantara untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara, meskipun transparansi dalam implementasinya masih menjadi perhatian.

Ketidakpastian global turut memberikan tekanan pada pasar saham Indonesia yang mengalami penurunan signifikan, sementara pasar obligasi masih menunjukkan ketahanan. Stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor utama dalam memulihkan kepercayaan investor. Sejarah mencatat bahwa pasar saham Indonesia cenderung mengalami pertumbuhan ketika nilai tukar rupiah stabil atau menguat. Selain itu, kebijakan Bank Indonesia yang masih membuka peluang pemangkasan suku bunga turut meningkatkan daya tarik pasar obligasi bagi investor asing.

Sementara itu, dampak langsung pengenaan tarif 25 persen terhadap baja Indonesia oleh AS dinilai terbatas, mengingat ekspor baja hanya mencakup 0,07 persen dari total ekspor nasional. Namun, risiko tidak langsung dari perlambatan perdagangan global tetap menjadi perhatian utama, terutama terkait dengan potensi penurunan permintaan ekspor dan kenaikan harga barang impor.

Lebih lanjut, arah kebijakan moneter The Fed dan BI masih menunjukkan pendekatan yang hati-hati. The Fed diproyeksikan akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin tahun ini, sementara BI tetap fokus menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan BI Rate berada di kisaran 5,25-5,50 persen hingga akhir tahun.

Stabilitas Rupiah dan Likuiditas Longgar Jadi Kunci Pemulihan Pasar Saham

Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha, menegaskan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) serta pelonggaran likuiditas merupakan faktor utama dalam pemulihan sentimen pasar saham Indonesia. Secara historis, pasar saham domestik cenderung mencatat kinerja positif saat rupiah dalam kondisi stabil atau menguat, ditambah dengan kelonggaran likuiditas yang mendukung pergerakan modal.

Dimas menyampaikan harapannya agar kondisi ini dapat tercapai setelah ketidakpastian terkait kebijakan tarif AS mulai mereda dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri menunjukkan perbaikan. Sejak Januari 2025, keresahan investor semakin meningkat akibat kebijakan tarif AS yang masih berubah-ubah dan informasi yang belum jelas. Bahkan, indeks ketidakpastian kebijakan perdagangan melonjak ke level tertinggi kedua sejak perang tarif tahun 2018, menunjukkan tingginya tekanan di pasar.

Menurut Dimas, apabila pemerintah AS telah memberikan kejelasan mengenai kebijakan tarif, pasar akan lebih mudah mengkaji ulang risiko dan peluang yang ada, sehingga volatilitas dapat berkurang. Dari sisi kebijakan moneter global, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa meskipun inflasi telah turun, kebijakan suku bunga tidak akan terburu-buru diturunkan. Namun, apabila indikator ekonomi melemah, pemangkasan suku bunga yang lebih agresif masih berpeluang terjadi.

Bagi Indonesia, dampak pengenaan tarif resiprokal terhadap perdagangan dengan AS diperkirakan terbatas, mengingat tarif rata-rata kedua negara saat ini berada di kisaran 4 persen. Selain itu, pengenaan tarif 25 persen terhadap baja diperkirakan tidak berdampak signifikan, mengingat ekspor baja Indonesia ke AS pada 2023 hanya senilai 199 juta dolar AS atau sekitar 0,07 persen dari total ekspor Indonesia.

Rupiah Melemah di Akhir Pekan, Sentimen Global Masih Menekan

Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan pada pembukaan perdagangan Jumat di Jakarta. Mata uang Garuda terkoreksi 89 poin atau sekitar 0,54 persen, turun ke level Rp16.543 per dolar Amerika Serikat (AS) dari posisi sebelumnya di Rp16.454 per dolar AS. Pelemahan ini mencerminkan tekanan eksternal yang masih membayangi pasar keuangan Indonesia.

Faktor utama yang mendorong pelemahan rupiah adalah penguatan dolar AS yang didukung oleh kebijakan moneter ketat The Federal Reserve. Bank sentral AS masih mempertahankan suku bunga tinggi guna mengendalikan inflasi, yang membuat aset berdenominasi dolar lebih menarik bagi investor. Selain itu, ketidakpastian ekonomi global akibat ketegangan geopolitik serta fluktuasi harga komoditas turut memengaruhi pergerakan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Dari dalam negeri, investor masih mencermati langkah Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Meskipun intervensi di pasar valas dan kebijakan suku bunga tetap dilakukan, tekanan eksternal yang kuat membuat rupiah belum mampu menguat signifikan. Pasar juga menunggu rilis data ekonomi domestik yang dapat memberikan gambaran mengenai prospek pertumbuhan di tengah kondisi global yang menantang.

Seiring dengan pelemahan ini, pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap volatilitas nilai tukar. Investor disarankan untuk mencermati perkembangan ekonomi global dan kebijakan bank sentral yang dapat memengaruhi pergerakan rupiah dalam jangka pendek. Dengan ketidakpastian yang masih tinggi, stabilitas ekonomi makro menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan pasar terhadap rupiah.

Rupiah Melemah di Tengah Penguatan Dolar AS, Namun Ada Harapan dari Kebijakan Ekonomi Baru

Pada perdagangan Selasa (18/2/2025), rupiah mengalami pelemahan tipis seiring dengan penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah dibuka pada posisi Rp16.230 per dolar AS, yang berarti melemah sebesar 0,12%. Jika tren pelemahan ini berlanjut hingga sesi penutupan, maka penguatan rupiah selama empat hari berturut-turut akan terhenti.

Pelemahan rupiah sejalan dengan penguatan indeks dolar AS (DXY), yang pagi ini tercatat naik 0,14% menjadi 106,88. Kenaikan indeks dolar menunjukkan adanya peningkatan permintaan terhadap mata uang AS, yang menambah tekanan terhadap rupiah.

Di sisi lain, pelaku pasar kini menantikan hasil dari Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), yang dimulai hari ini. Keputusan terkait kebijakan moneter yang akan diambil BI menjadi faktor penting dalam menentukan arah pergerakan rupiah ke depan. Para investor memperhatikan langkah-langkah BI, terutama terkait upaya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah tantangan global.

Namun, ada dua faktor positif yang bisa mendukung stabilitas rupiah dalam jangka menengah. Pertama, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Mulai 1 Maret 2025, DHE yang berasal dari sektor sumber daya alam (SDA) wajib disimpan dalam sistem keuangan Indonesia sebesar 100% selama 12 bulan. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa dan menjaga kestabilan ekonomi nasional.

Kedua, delapan kebijakan ekonomi yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden Prabowo juga diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025. Dengan adanya kebijakan moneter dan fiskal yang seimbang, diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap rupiah, memberikan optimisme terhadap pasar keuangan Indonesia.