Rupiah Menguat di Tengah Harapan Penurunan Suku Bunga The Fed dan Ketidakpastian Tarif AS-China

Nilai tukar rupiah menunjukkan penguatan di pasar pada Jumat pagi, didorong oleh optimisme global terhadap potensi penurunan suku bunga oleh Federal Reserve Amerika Serikat pada Juni 2025. Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, mengungkapkan bahwa rupiah berpotensi bergerak di kisaran Rp16.875 hingga Rp16.800, seiring meningkatnya ekspektasi akan kebijakan moneter yang lebih longgar dari The Fed.

Keputusan The Fed tersebut didasari oleh keinginan untuk menekan inflasi dan menjaga tingkat pengangguran di Amerika Serikat. Namun, kebijakan tarif tinggi yang diterapkan oleh Presiden AS Donald Trump turut memperburuk situasi dengan memicu kelangkaan bahan baku di sektor manufaktur dan meningkatkan potensi pemutusan hubungan kerja.

Sementara itu, nilai tukar rupiah dipandang masih undervalue dibandingkan dengan fundamental ekonominya. Hal ini membuka peluang lebih lanjut bagi penguatan mata uang Indonesia, terlebih ketika mata uang regional lainnya juga menunjukkan tren positif terhadap dolar AS. Penurunan indeks dolar yang kini berada di bawah angka 100 mencerminkan perubahan sentimen investor yang mulai berani mengambil risiko terhadap aset di negara berkembang.

Meski demikian, ketidakpastian terkait kebijakan tarif AS terhadap China tetap menjadi faktor penghambat. Pernyataan Trump mengenai kemungkinan pemangkasan tarif hingga 145 persen belum memiliki kejelasan, apalagi China belum menunjukkan minat untuk membuka dialog. Bahkan, pernyataan dari pejabat tinggi AS seperti Menteri Keuangan Scott Bessent menambah ketegangan dengan menekankan bahwa negosiasi perdagangan bisa menjadi rumit.

Pada pembukaan perdagangan Jumat, rupiah tercatat menguat sebesar 58 poin atau 0,34 persen, menjadi Rp16.815 per dolar AS dari posisi sebelumnya di Rp16.873.

Rupiah Tertekan, Ekonomi “Kurang Darah” di Tengah Kebijakan BI yang Tertahan

Nilai tukar rupiah kembali melemah pada Rabu di tengah kondisi likuiditas ekonomi domestik yang sangat terbatas. Rully Nova, analis dari Bank Woori Saudara, menyebut bahwa perekonomian saat ini tengah mengalami krisis likuiditas, diibaratkan seperti tubuh yang kekurangan darah. Menurutnya, kondisi ini bisa menimbulkan stagnasi ekonomi jika tidak segera diatasi.

Ia menyarankan perlunya langkah kebijakan yang inovatif guna mendorong kelancaran arus dana dan menggairahkan kembali aktivitas ekonomi. Dalam analogi yang ia sampaikan, kredit bank adalah darah dan bank adalah jantung. Sayangnya, jantung perekonomian saat ini dinilainya sedang tidak berfungsi optimal, menandakan lemahnya dorongan dari sektor perbankan.

Sementara itu, Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung pada 22 dan 23 April 2025, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 5,75 persen. Suku bunga untuk fasilitas simpanan tetap di 5 persen, sedangkan fasilitas pinjaman tetap berada di angka 6,5 persen. Meski keputusan ini dinilai tepat, Rully menilai kebijakan tersebut belum memberikan pengaruh positif terhadap penguatan nilai rupiah.

Dari sisi lain, pasar saham Indonesia mulai menunjukkan pemulihan dengan kenaikan 1,2 persen di sesi pertama perdagangan, dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun juga menurun ke level 6,951 persen, menandakan berakhirnya aksi jual investor asing. Namun, dari sisi global, indeks dolar AS meningkat ke angka 100, naik 1 persen dari hari sebelumnya, turut menekan posisi rupiah yang ditutup melemah 12 poin ke Rp16.872 per dolar AS. Kurs JISDOR juga mencatat pelemahan ke level Rp16.880 per dolar.

Rupiah Diam di Tempat, Pasar Tunggu Keputusan BI di Tengah Ketidakpastian Global

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tercatat tidak bergerak banyak menjelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang dijadwalkan sore ini, Rabu, 23 April 2025. Berdasarkan data Refinitiv, rupiah dibuka stabil di angka Rp16.850 per dolar AS, menunjukkan stagnansi alias tidak mengalami perubahan dibandingkan hari sebelumnya. Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) tercatat naik tipis sebesar 0,17% ke level 99,08, meningkat dari posisi penutupan sebelumnya di angka 98,92.

Pasar keuangan saat ini tengah menanti keputusan penting dari BI, khususnya mengenai arah suku bunga acuan atau BI rate di tengah tekanan global yang masih belum reda. Ketegangan geopolitik dan perang dagang yang melibatkan Amerika Serikat menjadi faktor utama yang menimbulkan ketidakpastian di pasar global. Pada bulan Maret 2025 lalu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga di level 5,75%, sesuai ekspektasi mayoritas analis.

Dalam survei yang dilakukan CNBC Indonesia terhadap 19 institusi, mayoritas memprediksi BI akan kembali mempertahankan suku bunga pada tingkat yang sama bulan ini. Namun, terdapat tiga institusi yang memperkirakan adanya potensi penurunan suku bunga ke 5,50%. Ketidakpastian ini membuat pelaku pasar cenderung menahan diri, sambil memantau perkembangan kebijakan moneter.

Di sisi lain, laporan terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7% untuk tahun 2025 dan 2026 semakin menambah kekhawatiran akan perlambatan ekonomi. Proyeksi ini lebih rendah dari ramalan awal tahun yang menyebut angka 5,1%, dan menambah tekanan terhadap rupiah serta stabilitas ekonomi nasional.

Rupiah Tertekan di Tengah Perang Dagang AS-China dan Guncangan di The Fed

Pelemahan nilai tukar rupiah kembali terjadi, dan kali ini dipicu oleh eskalasi ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Direktur Laba Forexindo Berjangka sekaligus pengamat mata uang, Ibrahim Assuabi, menilai bahwa tekanan pada rupiah berasal dari langkah keras China dalam menanggapi kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Negeri Tirai Bambu disebut telah memberikan peringatan tegas kepada negara-negara yang menjalin kesepakatan perdagangan dengan AS, yang dianggap merugikan kepentingan China.

Kementerian Perdagangan China mengungkapkan bahwa AS terus menggunakan tarif dan sanksi finansial sebagai alat untuk menekan negara-negara mitra dagang agar membatasi hubungan mereka dengan China. Tindakan ini dibalas oleh China dengan mengenakan tarif balasan sebesar 125 persen, setelah sebelumnya AS menaikkan tarif hingga 145 persen terhadap produk-produk asal China. Situasi ini menciptakan kekhawatiran di pasar global, termasuk Indonesia, karena memicu gejolak ekonomi dan ketidakpastian dalam rantai perdagangan internasional.

Selain faktor eksternal dari konflik dagang, pasar juga gelisah akibat rencana Presiden Donald Trump untuk melakukan restrukturisasi Federal Reserve dan memecat Gubernur Jerome Powell. Trump menilai bahwa bank sentral perlu segera memangkas suku bunga agar ekonomi AS tidak melambat. Namun, Powell tetap bersikukuh bahwa belum ada alasan kuat untuk memotong suku bunga, mengingat tekanan inflasi dan ketidakpastian kebijakan tarif yang terus berkembang.

Situasi ini berdampak langsung pada nilai tukar rupiah. Pada penutupan perdagangan hari ini, rupiah melemah sebesar 53 poin atau 0,32 persen menjadi Rp16.860 per dolar AS, dari posisi sebelumnya Rp16.807. Sementara itu, kurs referensi JISDOR Bank Indonesia juga mencatat pelemahan rupiah ke angka Rp16.862 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.808.

Modal Asing Kabur Rp11,96 Triliun, BI Perkuat Strategi Hadapi Tekanan Global

Bank Indonesia (BI) mencatat terjadinya arus keluar modal asing bersih dari pasar keuangan domestik sebesar Rp11,96 triliun dalam periode transaksi 14 hingga 16 April 2025. Data ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, yang menyebutkan bahwa arus keluar tersebut berasal dari pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masing-masing sebesar Rp13,01 triliun dan Rp2,24 triliun. Di sisi lain, pasar Surat Berharga Negara (SBN) justru mengalami arus masuk modal asing bersih sebesar Rp3,28 triliun, sehingga total arus keluar bersih tetap berada di angka Rp11,96 triliun.

Sepanjang tahun 2025 hingga 16 April, akumulasi modal asing keluar bersih dari pasar saham telah mencapai Rp36,86 triliun, sementara dari SRBI tercatat Rp7,94 triliun. Sementara itu, pasar SBN masih menjadi tujuan investasi dengan arus masuk bersih sebesar Rp9,63 triliun. Di tengah dinamika ini, premi risiko investasi Indonesia yang tercermin dari credit default swaps (CDS) tenor 5 tahun justru menurun dari 111,73 basis poin menjadi 106,39 basis poin.

Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami penguatan tipis pada Kamis, 17 April 2025, di level Rp16.810 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya di Rp16.820. Indeks dolar AS (DXY) juga terpantau melemah ke 99,38. Imbal hasil SBN 10 tahun tetap stabil di angka 6,93 persen, sedangkan yield US Treasury Note 10 tahun turun ke 4,277 persen. Bank Indonesia menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan lembaga terkait serta mengoptimalkan bauran kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal ekonomi nasional.

Rupiah Melemah Terbatas, Daya Beli Menurun dan Ketegangan Global Jadi Pemicu

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat diperkirakan mengalami pelemahan terbatas, didorong oleh penurunan kepercayaan konsumen dan anjloknya angka penjualan kendaraan. Analis mata uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyatakan bahwa kondisi ini mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat serta kekhawatiran akan ketidakpastian ekonomi yang menyebabkan masyarakat lebih hati-hati dalam belanja dan investasi. Hal ini tampak dari meningkatnya minat masyarakat terhadap aset aman seperti emas.

Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Maret 2025 mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di angka 121,1, mengalami penurunan dari bulan sebelumnya. Penurunan ini juga terjadi pada Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK), yang masing-masing tercatat 110,6 dan 131,7. Walau seluruh komponen IKE seperti penghasilan, pembelian barang tahan lama, dan lapangan kerja masih menunjukkan optimisme, nilainya lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya.

Sementara itu, harapan konsumen terhadap ekonomi enam bulan mendatang tetap kuat, meskipun mengalami penurunan tipis. BI mencatat ekspektasi penghasilan, aktivitas usaha, dan lapangan kerja tetap berada di atas level optimis, meski sedikit melunak. Di sisi lain, ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China turut menjadi sentimen negatif. Boikot China terhadap pesawat Boeing yang menyumbang sekitar 20 persen penjualan global, dinilai sebagai sinyal keras yang berpotensi memicu eskalasi konflik dagang.

Melihat situasi tersebut, Lukman memproyeksikan rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.750 hingga Rp16.850 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan Rabu pagi di Jakarta, rupiah sempat menguat tipis sebesar 8 poin menjadi Rp16.819 per dolar AS.

Judul: Rupiah Menguat Tipis, Dolar AS Melemah Usai Inflasi Melandai

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menunjukkan penguatan tipis pada Jumat (11/4/2025) usai dirilisnya data inflasi AS yang berada di bawah proyeksi pasar. Mengacu pada data Refinitiv, rupiah ditutup di angka Rp16.790 per dolar AS, menguat 0,03% dibanding hari sebelumnya. Pada Kamis (10/4/2025), rupiah juga ditutup menguat ke posisi Rp16.795 per dolar AS atau naik 0,39%. Namun, jika dilihat secara mingguan, mata uang Garuda masih tercatat melemah sekitar 1,42%.

Pelemahan dolar AS turut terlihat dari indeks dolar (DXY) yang pada pukul 14:54 WIB tercatat turun hingga 0,92% ke level 99,94. Ini menunjukkan penurunan cukup signifikan dibandingkan penutupan hari sebelumnya yang berada di level 100,87. Penurunan DXY terjadi bersamaan dengan laporan inflasi AS yang menunjukkan pelambatan. Inflasi tahunan AS pada Maret 2025 tercatat hanya sebesar 2,4% secara year-on-year (yoy), turun dari angka 2,8% di Februari dan berada di bawah ekspektasi analis sebesar 2,6%.

Faktor lainnya yang turut memengaruhi nilai tukar adalah meredanya ketegangan akibat tarif dagang yang diinisiasi oleh mantan Presiden Donald Trump. Ia memutuskan untuk menunda pemberlakuan tarif baru selama 90 hari untuk sebagian besar negara. Keputusan ini diambil karena lebih dari 75 mitra dagang tidak melakukan pembalasan dan menunjukkan itikad baik untuk bernegosiasi. Sentimen positif dari kondisi tersebut menjadi angin segar bagi rupiah untuk tetap bertahan di jalur penguatan.

Sentimen Global Memanas, Rupiah Tertekan hingga Nyaris Tembus Rp17.000 per Dolar AS

Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan tajam di awal pekan ini seiring meningkatnya tekanan eksternal yang berasal dari ketegangan geopolitik dan kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Menurut pengamat pasar uang yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, depresiasi nilai rupiah terutama dipicu oleh sentimen negatif terkait kebijakan tarif resiprokal dari AS yang diumumkan oleh mantan Presiden Donald Trump. Kebijakan tersebut mendapat respons keras dari negara-negara mitra dagang, sehingga menimbulkan kekhawatiran baru mengenai perlambatan ekonomi global. Ketidakpastian ini mendorong para pelaku pasar untuk mengalihkan investasi dari aset berisiko ke aset yang lebih aman. Selain faktor kebijakan perdagangan, penguatan dolar AS turut didorong oleh data ketenagakerjaan Amerika, khususnya sektor non-pertanian (nonfarm payrolls), yang hasilnya jauh melampaui ekspektasi pasar. Di sisi lain, kondisi geopolitik juga memperkeruh sentimen investor. Konflik yang semakin intens di Timur Tengah, terutama serangan lanjutan Israel di Jalur Gaza dan keterlibatan AS di Yaman, serta eskalasi ketegangan antara Rusia dan Ukraina, turut memperbesar kekhawatiran akan kestabilan global. Akibat kombinasi faktor tersebut, rupiah pada pembukaan perdagangan hari Senin terpantau melemah signifikan sebesar 251 poin atau sekitar 1,51 persen menjadi Rp16.904 per dolar AS, dari posisi sebelumnya di Rp16.653. Meski operasi moneter hari ini masih libur, pasar tetap menanti perkembangan negosiasi lanjutan yang berpotensi memulihkan optimisme terhadap aset berisiko.

Rupiah Menguat, Dunia Khawatirkan Retaliasi Akibat Kebijakan Tarif Trump

Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat mengalami penguatan di tengah kekhawatiran global atas kebijakan tarif yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump. Analis dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menilai bahwa potensi retaliasi dari sejumlah negara besar atas kebijakan tarif tersebut dapat memperlemah dolar AS dan berdampak positif bagi rupiah. Menurutnya, langkah Trump yang memicu kekhawatiran resesi di AS justru menjadi sentimen penguat bagi mata uang negara berkembang seperti Indonesia.

Salah satu negara yang menyatakan akan melakukan perlawanan adalah Kanada. Perdana Menteri Mark Carney menyebut pihaknya siap menanggapi tarif AS dan fokus membangun kekuatan ekonomi domestik. Meskipun Kanada berhasil menghindari tarif 10 persen atas barang-barang dalam perjanjian USMCA, barang lainnya tetap dikenakan tarif tinggi hingga 25 persen. Uni Eropa pun tidak tinggal diam. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan sedang mempersiapkan langkah balasan untuk melindungi kepentingan dan bisnis di kawasan tersebut. Sementara itu, China juga menyatakan sikap tegas terhadap tarif baru yang dikenakan AS, dengan komitmen akan mengambil tindakan balasan.

Trump mengumumkan penerapan tarif timbal balik sejak awal April 2025, dengan kebijakan penuh berlaku pada 9 April, terutama bagi negara-negara dengan defisit dagang tinggi dengan AS. Di sisi lain, data ekonomi AS yang melemah, seperti laporan ISM sektor jasa, turut menekan dolar AS. Meskipun sentimen negatif di pasar saham bisa membatasi penguatan lebih lanjut, rupiah tetap menunjukkan perbaikan dengan nilai Rp16.653 per dolar AS pada pembukaan perdagangan Jumat pagi, menguat 93 poin dari hari sebelumnya.

Rupiah Tertekan, Dampak Tarif Baru AS Makin Memberatkan

Nilai tukar rupiah mengalami tekanan hebat akibat kebijakan tarif baru yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Menurut analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, kebijakan tarif sebesar 32 persen terhadap Indonesia membuat rupiah berada dalam kondisi yang cukup berat. Ia menilai bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena dampak signifikan akibat tarif resiprokal yang cukup besar.

Pada Rabu, Presiden AS Donald Trump resmi mengumumkan penerapan tarif tambahan sebagai bagian dari strategi untuk mengurangi defisit perdagangan global. Salah satu kebijakan yang diberlakukan adalah tarif tambahan sebesar 25 persen untuk semua mobil yang diproduksi di luar AS, yang mulai efektif hari ini. Kebijakan tersebut dinilai lebih agresif dari perkiraan sebelumnya, sehingga memicu ketidakpastian di pasar keuangan global.

Lukman memperkirakan bahwa rupiah akan kembali mengalami pelemahan dan cenderung berfluktuasi tajam. Selain itu, Bank Indonesia kemungkinan besar akan melakukan intervensi untuk menstabilkan nilai tukar. Saat ini, indeks dolar AS terpantau mengalami volatilitas tinggi, seiring dengan sentimen negatif yang semakin menguat di pasar global akibat kebijakan tersebut. Kondisi pasar yang tidak menentu membuat investor cenderung menghindari risiko, yang turut memperburuk tekanan pada rupiah.

Berdasarkan perkembangan tersebut, rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp16.600 hingga Rp16.900 per dolar AS pada perdagangan hari ini. Saat pembukaan perdagangan Kamis pagi di Jakarta, nilai tukar rupiah melemah sebesar 59 poin atau turun 0,36 persen menjadi Rp16.772 per dolar AS dari posisi sebelumnya di Rp16.713 per dolar AS.