Investor Diminta Siapkan Strategi Adaptif di Tengah Ketidakpastian Global

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat perang tarif, volatilitas pasar keuangan, dan kebijakan moneter yang belum pasti, investor perlu menerapkan strategi investasi yang lebih adaptif. Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada keseimbangan antara konsumsi domestik dan investasi jangka panjang.

Menurutnya, konsumsi dalam negeri masih melemah, terlihat dari kontribusi konsumsi terhadap PDB yang sebelum pandemi berada di kisaran 55-58 persen, namun kini turun menjadi 54 persen. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk menopang daya beli masyarakat, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), kenaikan upah minimum, penyesuaian gaji aparatur sipil negara (ASN), serta pembatalan kenaikan PPN. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, mengingat konsumsi berkontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, investasi tetap menjadi prioritas utama untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sebesar 8 persen guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional di level yang sama. Salah satu kebijakan strategis yang diterapkan adalah pembentukan Danantara untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara, meskipun transparansi dalam implementasinya masih menjadi perhatian.

Ketidakpastian global turut memberikan tekanan pada pasar saham Indonesia yang mengalami penurunan signifikan, sementara pasar obligasi masih menunjukkan ketahanan. Stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor utama dalam memulihkan kepercayaan investor. Sejarah mencatat bahwa pasar saham Indonesia cenderung mengalami pertumbuhan ketika nilai tukar rupiah stabil atau menguat. Selain itu, kebijakan Bank Indonesia yang masih membuka peluang pemangkasan suku bunga turut meningkatkan daya tarik pasar obligasi bagi investor asing.

Sementara itu, dampak langsung pengenaan tarif 25 persen terhadap baja Indonesia oleh AS dinilai terbatas, mengingat ekspor baja hanya mencakup 0,07 persen dari total ekspor nasional. Namun, risiko tidak langsung dari perlambatan perdagangan global tetap menjadi perhatian utama, terutama terkait dengan potensi penurunan permintaan ekspor dan kenaikan harga barang impor.

Lebih lanjut, arah kebijakan moneter The Fed dan BI masih menunjukkan pendekatan yang hati-hati. The Fed diproyeksikan akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin tahun ini, sementara BI tetap fokus menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan BI Rate berada di kisaran 5,25-5,50 persen hingga akhir tahun.

Stabilitas Rupiah dan Likuiditas Longgar Jadi Kunci Pemulihan Pasar Saham

Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha, menegaskan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) serta pelonggaran likuiditas merupakan faktor utama dalam pemulihan sentimen pasar saham Indonesia. Secara historis, pasar saham domestik cenderung mencatat kinerja positif saat rupiah dalam kondisi stabil atau menguat, ditambah dengan kelonggaran likuiditas yang mendukung pergerakan modal.

Dimas menyampaikan harapannya agar kondisi ini dapat tercapai setelah ketidakpastian terkait kebijakan tarif AS mulai mereda dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri menunjukkan perbaikan. Sejak Januari 2025, keresahan investor semakin meningkat akibat kebijakan tarif AS yang masih berubah-ubah dan informasi yang belum jelas. Bahkan, indeks ketidakpastian kebijakan perdagangan melonjak ke level tertinggi kedua sejak perang tarif tahun 2018, menunjukkan tingginya tekanan di pasar.

Menurut Dimas, apabila pemerintah AS telah memberikan kejelasan mengenai kebijakan tarif, pasar akan lebih mudah mengkaji ulang risiko dan peluang yang ada, sehingga volatilitas dapat berkurang. Dari sisi kebijakan moneter global, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa meskipun inflasi telah turun, kebijakan suku bunga tidak akan terburu-buru diturunkan. Namun, apabila indikator ekonomi melemah, pemangkasan suku bunga yang lebih agresif masih berpeluang terjadi.

Bagi Indonesia, dampak pengenaan tarif resiprokal terhadap perdagangan dengan AS diperkirakan terbatas, mengingat tarif rata-rata kedua negara saat ini berada di kisaran 4 persen. Selain itu, pengenaan tarif 25 persen terhadap baja diperkirakan tidak berdampak signifikan, mengingat ekspor baja Indonesia ke AS pada 2023 hanya senilai 199 juta dolar AS atau sekitar 0,07 persen dari total ekspor Indonesia.

Rupiah Melemah di Akhir Pekan, Sentimen Global Masih Menekan

Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan pada pembukaan perdagangan Jumat di Jakarta. Mata uang Garuda terkoreksi 89 poin atau sekitar 0,54 persen, turun ke level Rp16.543 per dolar Amerika Serikat (AS) dari posisi sebelumnya di Rp16.454 per dolar AS. Pelemahan ini mencerminkan tekanan eksternal yang masih membayangi pasar keuangan Indonesia.

Faktor utama yang mendorong pelemahan rupiah adalah penguatan dolar AS yang didukung oleh kebijakan moneter ketat The Federal Reserve. Bank sentral AS masih mempertahankan suku bunga tinggi guna mengendalikan inflasi, yang membuat aset berdenominasi dolar lebih menarik bagi investor. Selain itu, ketidakpastian ekonomi global akibat ketegangan geopolitik serta fluktuasi harga komoditas turut memengaruhi pergerakan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Dari dalam negeri, investor masih mencermati langkah Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Meskipun intervensi di pasar valas dan kebijakan suku bunga tetap dilakukan, tekanan eksternal yang kuat membuat rupiah belum mampu menguat signifikan. Pasar juga menunggu rilis data ekonomi domestik yang dapat memberikan gambaran mengenai prospek pertumbuhan di tengah kondisi global yang menantang.

Seiring dengan pelemahan ini, pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap volatilitas nilai tukar. Investor disarankan untuk mencermati perkembangan ekonomi global dan kebijakan bank sentral yang dapat memengaruhi pergerakan rupiah dalam jangka pendek. Dengan ketidakpastian yang masih tinggi, stabilitas ekonomi makro menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan pasar terhadap rupiah.