Modal Asing Keluar Rp4,25 Triliun, Rupiah Melemah di Tengah Tekanan Pasar

Bank Indonesia (BI) mencatat adanya arus modal asing keluar bersih dari pasar keuangan domestik sebesar Rp4,25 triliun pada pekan ketiga Maret 2025, tepatnya dalam periode transaksi 17-20 Maret. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengungkapkan bahwa aliran dana keluar tersebut berasal dari pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masing-masing sebesar Rp4,78 triliun dan Rp0,67 triliun. Sementara itu, modal asing masuk bersih di pasar Surat Berharga Negara (SBN) tercatat sebesar Rp1,20 triliun, yang mengurangi tekanan terhadap keluarnya modal asing.

Sepanjang 2025, hingga 20 Maret, modal asing keluar bersih di pasar saham mencapai Rp28,10 triliun. Sementara itu, aliran modal masuk tercatat di pasar SBN sebesar Rp23,87 triliun dan di SRBI sebesar Rp8,58 triliun. Seiring dengan meningkatnya risiko investasi global, premi risiko Indonesia yang tercermin dalam credit default swaps (CDS) 5 tahun naik dari 81,20 basis poin (bps) pada 14 Maret menjadi 88,51 bps pada 20 Maret.

Tekanan di pasar keuangan juga berdampak pada nilai tukar rupiah, yang pada Jumat (21/3) dibuka sedikit melemah di level Rp16.480 per dolar AS, dibandingkan dengan penutupan Kamis (20/3) di Rp16.470 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) menguat ke level 103,85, mencerminkan dominasi dolar terhadap mata uang utama dunia. Imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia (SBN) tenor 10 tahun naik ke level 7,09 persen pada Jumat pagi, sedangkan yield US Treasury Note 10 tahun turun ke 4,237 persen.

BI menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait, serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan guna menjaga stabilitas ekonomi dan ketahanan eksternal Indonesia di tengah volatilitas pasar global.

Rupiah Menguat di Tengah Sentimen Dovish The Fed, Tapi Masih Dihantui Faktor Domestik

Analis mata uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, menyebut bahwa penguatan rupiah terhadap dolar AS dipicu oleh pernyataan dovish dari Federal Reserve (The Fed). Ketua The Fed, Jerome Powell, menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dari 2,1 persen menjadi 1,7 persen serta mengisyaratkan kemungkinan pemangkasan suku bunga dua kali tahun ini. Proyeksi ini membuat dolar AS melemah, memberikan ruang bagi rupiah untuk menguat. Selain itu, suku bunga acuan Federal Funds Rate (FFR) yang sebelumnya berada di kisaran 4,25–4,50 basis poin diperkirakan akan turun menjadi 3,75–4,00 basis poin dalam waktu dekat.

Meskipun demikian, tekanan ekonomi global masih menjadi faktor yang perlu diwaspadai. Risiko resesi meningkat akibat kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang agresif, terutama terkait tarif impor yang dapat memperburuk inflasi dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, investor cenderung beralih ke aset safe haven seperti emas, sementara pasar keuangan tetap mencermati kebijakan The Fed mengenai suku bunga pada semester kedua tahun ini.

Di sisi domestik, sentimen pasar masih belum sepenuhnya pulih, membatasi potensi penguatan rupiah. Pada Selasa lalu, Bursa Efek Indonesia (BEI) sempat melakukan trading halt pada pukul 11.19 WIB akibat penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) lebih dari 5 persen. Faktor-faktor yang menyebabkan penurunan ini meliputi kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi, defisit anggaran, revisi peringkat saham, hingga isu pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dengan kondisi tersebut, nilai tukar rupiah diprediksi bergerak dalam rentang Rp16.400–Rp16.550 per dolar AS. Pada pembukaan perdagangan Kamis pagi, rupiah terpantau melemah sebesar 38 poin atau 0,23 persen menjadi Rp16.493 per dolar AS dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.531 per dolar AS.

BI Diprediksi Tahan Suku Bunga di 5,75 Persen, Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuannya pada level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2025. Menurutnya, meskipun inflasi saat ini masih berada di bawah target 2,5 persen plus minus 1 persen, tekanan harga yang meningkat selama periode Ramadhan dan Idul Fitri dapat mendorong inflasi kembali ke kisaran target dalam beberapa bulan mendatang. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang stabil dinilai lebih tepat dalam menjaga keseimbangan ekonomi.

Selain faktor domestik, Riefky juga menyoroti risiko eksternal yang dapat mempengaruhi keputusan BI. Ketidakpastian di pasar keuangan global, terutama akibat kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang memicu ketegangan tarif dengan Uni Eropa dan negara-negara di Amerika Utara, menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan. Di sisi lain, Federal Reserve (The Fed) masih bersikap hati-hati terhadap pelonggaran moneter, sementara ketidakpastian kebijakan ekonomi AS menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Riefky menegaskan bahwa keputusan The Fed terkait suku bunga akan diumumkan dalam waktu yang berdekatan dengan pertemuan BI. Jika BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga, hal tersebut berpotensi memperlemah rupiah lebih lanjut. Oleh karena itu, menurutnya, menjaga stabilitas nilai tukar dan ketahanan pasar keuangan harus menjadi prioritas utama bagi BI dengan tetap mempertahankan suku bunga di level saat ini.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Chief Economist Bank BCA David Sumual, yang menilai bahwa deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir hanya bersifat sementara. Dengan masih adanya ketidakpastian terkait perang dagang dan kebijakan suku bunga The Fed, sementara rupiah masih berada di bawah tekanan, mempertahankan suku bunga BI di level 5,75 persen dinilai sebagai langkah yang paling bijak untuk menjaga stabilitas ekonomi.

Pemerintah Gelar Lelang SUN, Targetkan Dana Rp26 Triliun

Pemerintah mengadakan lelang Surat Utang Negara (SUN) pada hari ini dengan target indikatif sebesar Rp26 triliun. Berdasarkan keterangan dari Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan di Jakarta, lelang dimulai pukul 09.00 WIB dan ditutup pada 11.00 WIB, dengan penyelesaian transaksi dijadwalkan pada Kamis, 20 Maret 2025.

Dalam lelang ini, terdapat delapan seri SUN yang ditawarkan, yakni SPN03250618 (penerbitan baru), SPN12260305 (pembukaan kembali), serta enam seri lainnya yang terdiri dari FR0104, FR0103, FR0106, FR0107, FR0102, dan FR0105. Dua seri SPN ditawarkan dengan tingkat kupon diskonto dan memiliki jatuh tempo masing-masing pada 18 Juni 2025 dan 5 Maret 2026. Sementara itu, seri lainnya memiliki tingkat kupon yang bervariasi, mulai dari 6,5 persen hingga 7,125 persen, dengan jatuh tempo yang berbeda-beda hingga tahun 2064.

Setiap unit SUN yang dilelang memiliki nilai nominal Rp1 juta, dan pemerintah berhak menjual seri-seri tersebut dengan jumlah lebih besar atau lebih kecil dari target awal yang telah ditentukan. Hasil dari lelang ini akan dialokasikan untuk memenuhi sebagian kebutuhan pembiayaan dalam APBN 2025.

Sepanjang Januari hingga Februari 2025, pemerintah telah mencatat pembiayaan utang baru sebesar Rp224,3 triliun atau setara dengan 28,9 persen dari target dalam APBN yang mencapai Rp775,9 triliun. Pendanaan tersebut bersumber dari penerbitan surat berharga negara (SBN) senilai Rp238,8 triliun, sementara pinjaman neto mengalami defisit sebesar Rp14,4 triliun. Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono menegaskan bahwa pengelolaan pembiayaan APBN akan tetap dijalankan dengan prinsip kehati-hatian serta mempertimbangkan efisiensi anggaran dan kondisi pasar keuangan.

Rupiah Melemah di Akhir Pekan, Sentimen Global Masih Menekan

Nilai tukar rupiah mengalami pelemahan pada pembukaan perdagangan Jumat di Jakarta. Mata uang Garuda terkoreksi 89 poin atau sekitar 0,54 persen, turun ke level Rp16.543 per dolar Amerika Serikat (AS) dari posisi sebelumnya di Rp16.454 per dolar AS. Pelemahan ini mencerminkan tekanan eksternal yang masih membayangi pasar keuangan Indonesia.

Faktor utama yang mendorong pelemahan rupiah adalah penguatan dolar AS yang didukung oleh kebijakan moneter ketat The Federal Reserve. Bank sentral AS masih mempertahankan suku bunga tinggi guna mengendalikan inflasi, yang membuat aset berdenominasi dolar lebih menarik bagi investor. Selain itu, ketidakpastian ekonomi global akibat ketegangan geopolitik serta fluktuasi harga komoditas turut memengaruhi pergerakan mata uang negara berkembang, termasuk rupiah.

Dari dalam negeri, investor masih mencermati langkah Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas nilai tukar. Meskipun intervensi di pasar valas dan kebijakan suku bunga tetap dilakukan, tekanan eksternal yang kuat membuat rupiah belum mampu menguat signifikan. Pasar juga menunggu rilis data ekonomi domestik yang dapat memberikan gambaran mengenai prospek pertumbuhan di tengah kondisi global yang menantang.

Seiring dengan pelemahan ini, pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap volatilitas nilai tukar. Investor disarankan untuk mencermati perkembangan ekonomi global dan kebijakan bank sentral yang dapat memengaruhi pergerakan rupiah dalam jangka pendek. Dengan ketidakpastian yang masih tinggi, stabilitas ekonomi makro menjadi faktor penting dalam menjaga kepercayaan pasar terhadap rupiah.

Rupiah Melemah di Tengah Penguatan Dolar AS, Namun Ada Harapan dari Kebijakan Ekonomi Baru

Pada perdagangan Selasa (18/2/2025), rupiah mengalami pelemahan tipis seiring dengan penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah dibuka pada posisi Rp16.230 per dolar AS, yang berarti melemah sebesar 0,12%. Jika tren pelemahan ini berlanjut hingga sesi penutupan, maka penguatan rupiah selama empat hari berturut-turut akan terhenti.

Pelemahan rupiah sejalan dengan penguatan indeks dolar AS (DXY), yang pagi ini tercatat naik 0,14% menjadi 106,88. Kenaikan indeks dolar menunjukkan adanya peningkatan permintaan terhadap mata uang AS, yang menambah tekanan terhadap rupiah.

Di sisi lain, pelaku pasar kini menantikan hasil dari Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), yang dimulai hari ini. Keputusan terkait kebijakan moneter yang akan diambil BI menjadi faktor penting dalam menentukan arah pergerakan rupiah ke depan. Para investor memperhatikan langkah-langkah BI, terutama terkait upaya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah tantangan global.

Namun, ada dua faktor positif yang bisa mendukung stabilitas rupiah dalam jangka menengah. Pertama, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Mulai 1 Maret 2025, DHE yang berasal dari sektor sumber daya alam (SDA) wajib disimpan dalam sistem keuangan Indonesia sebesar 100% selama 12 bulan. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa dan menjaga kestabilan ekonomi nasional.

Kedua, delapan kebijakan ekonomi yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden Prabowo juga diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025. Dengan adanya kebijakan moneter dan fiskal yang seimbang, diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap rupiah, memberikan optimisme terhadap pasar keuangan Indonesia.