Singapura hingga China, Negara Paling Royal Beri Utang ke Indonesia di 2025

Jumlah utang luar negeri (ULN) Indonesia mengalami sedikit penurunan pada Februari 2025. Dari sebelumnya sebesar US$ 427,9 miliar di Januari, turun menjadi US$ 427,2 miliar. Penurunan ini tercatat berasal dari berbagai jenis kreditur, baik negara asing, organisasi internasional, maupun lembaga lainnya. Sebagian besar ULN Indonesia disumbang oleh negara-negara pemberi pinjaman dengan total US$ 203,52 miliar. Sementara dari organisasi internasional tercatat sebesar US$ 45,52 miliar dan sisanya sebesar US$ 178,11 miliar berasal dari kategori lainnya.

Berdasarkan data kreditur negara, Singapura menjadi penyumbang terbesar ULN Indonesia dengan nilai mencapai US$ 55,45 miliar pada Februari 2025, meskipun angka ini turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar US$ 55,78 miliar. Posisi kedua ditempati oleh Amerika Serikat dengan nilai utang sebesar US$ 27,67 miliar, juga sedikit menurun dari catatan Januari sebesar US$ 27,68 miliar. China menyusul di posisi ketiga dengan total utang sebesar US$ 23,28 miliar, sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat US$ 23,30 miliar.

Jepang berada di urutan keempat dengan nilai utang ke Indonesia sebesar US$ 21,01 miliar pada Februari, mengalami kenaikan dari sebelumnya US$ 20,88 miliar. Di posisi kelima terdapat Hong Kong, yang nilai pinjamannya ke Indonesia mencapai US$ 19,16 miliar, naik dari catatan Januari yang sebesar US$ 18,77 miliar. Meskipun terjadi sedikit fluktuasi, data ini mencerminkan stabilitas hubungan keuangan Indonesia dengan negara-negara kreditur utama.

Deflasi Tahunan Pertama dalam 25 Tahun, BI Pastikan Daya Beli Tetap Stabil

Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa deflasi tahunan yang terjadi pada Februari 2025 tidak mencerminkan penurunan daya beli masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen secara tahunan (year on year/yoy), yang merupakan pertama kalinya sejak tahun 2000 atau dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, menjelaskan bahwa daya beli masyarakat biasanya diukur melalui inflasi inti, karena indikator ini lebih merefleksikan interaksi antara permintaan dan penawaran dalam perekonomian. Ia menyebutkan bahwa inflasi inti pada Februari 2025 masih berada di level yang stabil, yakni sekitar 2,48 persen secara tahunan.

Juli juga menambahkan bahwa konsumsi rumah tangga, berdasarkan data BPS pada kuartal IV 2024 dan sepanjang tahun 2024, masih tumbuh di kisaran 5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi konsumsi masyarakat, masih cukup baik. Menurutnya, deflasi yang terjadi dalam dua bulan berturut-turut, yakni Januari dan Februari 2025, bukan disebabkan oleh menurunnya daya beli, melainkan karena kebijakan pemerintah terkait diskon tarif listrik. Penurunan harga yang terjadi pada kelompok administered price atau harga yang diatur pemerintah menjadi faktor utama penyebab deflasi tersebut. Meski demikian, inflasi tahunan Indonesia masih berada dalam target, yakni sekitar 2 persen.

Sementara itu, Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa deflasi bulanan pada Februari 2025 tercatat sebesar 0,48 persen. Ia menuturkan bahwa penurunan harga sebagian besar dipengaruhi oleh kebijakan diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang masih berlangsung hingga Februari 2025. Meski demikian, komponen harga bergejolak tetap mengalami inflasi sebesar 1,58 persen, yang dipicu oleh kenaikan harga beberapa komoditas seperti cabai rawit, bawang putih, bawang merah, dan kangkung.