Bank Menghadapi Dampak Tarif Trump: Strategi Bertahan dalam Krisis Ekonomi

Kebijakan kenaikan tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat terhadap 185 negara, termasuk Indonesia, telah memicu kekhawatiran terkait gangguan dalam rantai pasok global serta potensi terjadinya pelambatan ekonomi dunia. Anton Hermawan, Presiden Direktur Krom Bank Indonesia, menyatakan bahwa dampak dari perang dagang yang dimulai oleh Presiden Donald Trump berpotensi mengancam sektor perbankan, terutama yang berhubungan dengan Dolar AS.

Dampak langsung kebijakan ini dapat terlihat pada penurunan indeks saham global, termasuk IHSG, serta pelemahan nilai tukar Rupiah. Bank-bank yang terlibat dalam pinjaman berbasis Dolar AS juga turut terdampak, sementara likuiditas semakin menipis akibat meningkatnya arus keluar modal. Anton mengingatkan bahwa kondisi ini membutuhkan kewaspadaan yang tinggi dari semua pihak dalam industri keuangan, termasuk bank digital.

Walaupun bank digital tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar, mereka tetap menghadapi risiko penurunan daya beli masyarakat yang dapat berdampak pada kinerja mereka. Oleh karena itu, bank digital kini lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman dan lebih fokus pada penguatan sistem analisis risiko. Menjaga kestabilan likuiditas menjadi hal utama untuk mempertahankan ketahanan bisnis mereka di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai bagaimana sektor perbankan menghadapinya, Anda dapat menyaksikan dialog lengkap bersama Anton Hermawan dalam program Power Lunch bersama Anneke Wijaya.

Trump dan Putin Sepakat Hentikan Serangan ke Infrastruktur, Perdamaian Ukraina Masih Dipertanyakan

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mencapai kesepakatan awal terkait upaya mengakhiri konflik di Ukraina. Pada Selasa (18/3), Gedung Putih mengumumkan bahwa kedua pemimpin tersebut sepakat memulai langkah perdamaian dengan menghentikan serangan terhadap infrastruktur energi dan fasilitas penting lainnya di Ukraina. Trump juga menegaskan bahwa tujuan akhir dari upaya ini adalah mewujudkan perdamaian yang abadi serta memperbaiki hubungan antara AS dan Rusia.

Dalam percakapan teleponnya dengan Putin, Trump dan timnya optimistis bahwa jalan menuju perdamaian dapat dimulai dengan mengupayakan gencatan senjata selama 30 hari. Namun, pengumuman dari Gedung Putih tidak menyebutkan apakah Putin telah menerima proposal tersebut secara penuh. Sebaliknya, Rusia hanya menyatakan kesediaannya untuk sementara waktu menghentikan serangan terhadap sasaran energi dan infrastruktur. Selain itu, kesepakatan juga mencakup negosiasi teknis mengenai gencatan senjata maritim di Laut Hitam, yang diharapkan menjadi langkah menuju penghentian konflik secara keseluruhan.

Diketahui, perundingan untuk mengimplementasikan rencana ini akan segera dimulai di Timur Tengah. Setelah pertemuan dengan pejabat tinggi AS di Arab Saudi pekan lalu, Ukraina menyatakan kesiapannya untuk menerima proposal gencatan senjata yang diusulkan oleh pemerintahan Trump. Sementara itu, Putin menyatakan dukungan prinsipil terhadap usulan tersebut, meskipun ia menegaskan bahwa masih ada isu penting yang harus diselesaikan sebelum Rusia bersedia menghentikan perang sepenuhnya.

Saat ini, negosiasi yang dipimpin oleh AS masih berlangsung, namun Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tetap berhati-hati dalam menanggapi inisiatif ini. Ia masih meragukan kesungguhan Putin dalam mencapai kesepakatan damai yang benar-benar langgeng bagi Ukraina.

Scholz Sambut Gencatan Senjata Terbatas Rusia, Dorong Langkah Menuju Perdamaian Ukraina

Kanselir Jerman Olaf Scholz menyambut baik keputusan Rusia untuk menghentikan serangan terhadap infrastruktur energi Ukraina, yang ia anggap sebagai langkah awal menuju perdamaian yang lebih permanen. Pernyataan ini disampaikan di Berlin pada Selasa (18/3) setelah pertemuannya dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron, di mana mereka membahas perkembangan terbaru serta percakapan telepon antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Scholz menegaskan bahwa tujuan utama dari segala upaya yang dilakukan saat ini adalah mencapai perdamaian yang adil dan berkelanjutan bagi Ukraina. Menurutnya, penghentian serangan terhadap fasilitas energi merupakan langkah penting yang dapat membuka jalan bagi perundingan lebih lanjut. Selain itu, ia juga menyoroti dimulainya negosiasi teknis untuk gencatan senjata di laut, yang diharapkan dapat berkembang menjadi penghentian penuh konflik bersenjata di Ukraina.

Lebih lanjut, Scholz menekankan bahwa proses negosiasi tidak boleh mengesampingkan Ukraina. Ia menegaskan bahwa setiap keputusan yang diambil harus melibatkan pihak Ukraina secara langsung, sehingga tidak ada kesepakatan yang dibuat tanpa persetujuan mereka. Dalam pernyataannya, ia mendesak agar langkah selanjutnya adalah gencatan senjata secara menyeluruh, yang diharapkan dapat segera terwujud demi menghentikan penderitaan rakyat Ukraina.

Scholz dan Macron juga menyoroti pentingnya peran komunitas internasional dalam memastikan bahwa gencatan senjata ini bukan hanya langkah sementara, tetapi merupakan bagian dari solusi jangka panjang untuk mengakhiri perang. Mereka mendesak negara-negara Barat untuk tetap bersatu dalam mendukung Ukraina, baik dalam aspek diplomasi maupun bantuan kemanusiaan. Selain itu, mereka menekankan bahwa tekanan terhadap Rusia harus terus dilakukan agar kepatuhan terhadap gencatan senjata benar-benar terwujud.

Sementara itu, pihak Ukraina masih menanggapi gencatan senjata ini dengan hati-hati, mengingat pengalaman sebelumnya di mana perjanjian serupa sering kali dilanggar dalam waktu singkat. Meski demikian, mereka tetap membuka ruang dialog dengan harapan bahwa langkah awal ini dapat berujung pada penghentian total konflik.

Di sisi lain, Scholz menekankan bahwa sanksi ekonomi terhadap Rusia akan tetap berlaku sampai ada jaminan nyata bahwa Moskow benar-benar berkomitmen terhadap perdamaian. Ia juga mengingatkan bahwa peran negara-negara lain, termasuk China dan Turki, sangat penting dalam mendukung proses negosiasi dan memastikan stabilitas kawasan.

Dengan berbagai upaya diplomasi yang terus digencarkan, Scholz berharap bahwa gencatan senjata ini bisa menjadi fondasi bagi perundingan damai yang lebih luas, yang tidak hanya mengakhiri perang, tetapi juga memastikan keamanan dan stabilitas jangka panjang di Eropa.

Trump Soroti Kebebasan Berbicara di Eropa, Vance Kecam Kemunduran Demokrasi

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, pada Jumat (14/2), mengomentari situasi kebebasan berbicara di Eropa dan memberikan pujian terhadap pidato Wakil Presiden JD Vance dalam Konferensi Keamanan Munich. Menurut Trump, pidato Vance yang membahas kebebasan berbicara sangat cemerlang dan mencerminkan kekhawatiran terhadap kemunduran hak fundamental di Eropa.

Dalam konferensi pers di Oval Office, Trump menyatakan bahwa kebebasan berbicara di Eropa sedang mengalami ancaman. “Saya mendengar pidatonya, dan dia berbicara tentang kebebasan berbicara. Saya rasa itu benar, kebebasan itu semakin hilang, dan mereka mulai kehilangan hak luar biasa tersebut,” ujarnya.

Selain kebebasan berbicara, Trump juga menyoroti isu imigrasi yang menurutnya berdampak pada meningkatnya angka kejahatan di berbagai negara Eropa. “Eropa memiliki masalah imigrasi besar, lihat apa yang terjadi dengan kejahatan di berbagai wilayah,” tambahnya.

Dalam pidatonya di Konferensi Keamanan Munich, Vance secara terbuka mengkritik para politisi, institusi, dan pengadilan Eropa yang menurutnya telah menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi. Ia juga menyuarakan kekhawatiran terhadap potensi pembatalan pemilu di Jerman jika partai sayap kanan AfD meraih kemenangan.

Vance bahkan menyindir situasi politik Eropa dengan mengatakan, “Jika demokrasi Amerika bisa bertahan 10 tahun menghadapi kritik dari Greta Thunberg, maka Eropa pasti bisa bertahan beberapa bulan dengan Elon Musk.” Pernyataan ini merujuk pada dukungan Musk terhadap partai sayap kanan Jerman serta keterlibatannya dalam siaran langsung dengan pemimpin AfD, Alice Weidel, yang memicu perdebatan mengenai kemungkinan campur tangan dalam pemilu Jerman yang dijadwalkan pada 23 Februari.

Namun, tidak semua pihak sepakat dengan pandangan Vance. Menteri Pertahanan Jerman, Boris Pistorius, menanggapi dengan tegas kritik Vance terhadap kebijakan Eropa. “Saya harus menanggapi pidato sebelumnya dari Wakil Presiden AS,” ujar Pistorius. Ia menegaskan bahwa meskipun Eropa mengambil langkah tegas terhadap ekstremisme sayap kanan, negara-negara Eropa tetap berkomitmen pada hak-hak dasar dan kebebasan demokratis.