Rodrigo Duterte Ditahan di Den Haag: Eks Presiden Filipina Hadapi Persidangan di ICC

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada Kamis, 13 Maret, mengonfirmasi bahwa mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, saat ini ditahan di pusat penahanan Scheveningen di Den Haag, Belanda. Penahanan ini dilakukan setelah Duterte menyelesaikan pemeriksaan medis yang merupakan bagian dari prosedur standar bagi setiap tersangka yang berada dalam tahanan ICC.

Sebelumnya, mantan sekretaris eksekutif Duterte, Salvador Medialdea, mengklaim bahwa pihaknya tidak mengetahui keberadaan mantan presiden tersebut. Namun, Duterte diketahui diterbangkan ke Den Haag dengan pesawat sewaan pada Selasa, 11 Maret, setelah ditangkap di Bandara Internasional Manila setibanya dari Hong Kong. Keberadaannya akhirnya dikonfirmasi oleh juru bicara ICC, Fadi El Abdallah, yang menyatakan bahwa Duterte telah resmi ditahan dan akan menjalani proses hukum lebih lanjut.

Duterte, yang menjabat sebagai Presiden Filipina dari 2016 hingga 2022, berpotensi menjadi mantan kepala negara Asia pertama yang diadili di ICC. Dalam pernyataan resminya, ICC mengungkapkan bahwa terdapat alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa Duterte bertanggung jawab secara individu sebagai pelaku tidak langsung atas kejahatan terhadap kemanusiaan, khususnya pembunuhan, yang diduga terjadi di Filipina antara November 2011 hingga Maret 2019.

Kebijakan Duterte dalam perang terhadap narkoba menjadi sorotan utama dalam kasus ini. Ribuan pengguna narkoba, pengedar kecil, serta individu lainnya diduga menjadi korban eksekusi di luar proses hukum selama masa pemerintahannya. Dengan dimulainya proses peradilan di ICC, kasus ini menjadi perhatian internasional dan dapat menjadi preseden bagi akuntabilitas pemimpin dunia atas kebijakan yang berdampak pada hak asasi manusia.

Seruan Tegas Antonio Guterres: Perjuangkan Hak Perempuan dan Anak Perempuan

Menjelang peringatan Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres mengajak seluruh dunia untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak perempuan. Dalam sebuah acara di Markas Besar PBB di New York pada Jumat (7/3), Guterres menekankan pentingnya mempercepat aksi demi kesetaraan gender serta melindungi hak-hak perempuan dari ancaman kemunduran. Ia mengajak semua pihak untuk tidak tinggal diam dan memilih bertindak demi masa depan yang lebih adil bagi semua.

Peringatan tahun ini juga menandai tiga dekade sejak Konferensi Dunia PBB tentang Perempuan yang diadakan di Beijing pada 1995. Dalam konferensi tersebut, hak-hak perempuan ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Sejak saat itu, perempuan di seluruh dunia telah mencapai berbagai kemajuan dengan menembus batasan dan membentuk kembali tatanan sosial. Namun, menurut Guterres, pencapaian tersebut masih rentan dan belum cukup untuk mencapai kesetaraan yang sesungguhnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa perempuan masih menghadapi diskriminasi, kekerasan, dan ketimpangan ekonomi yang menghambat perkembangan mereka. Bahkan, di banyak negara, hak-hak perempuan justru mengalami kemunduran akibat chauvinisme dan misogini yang semakin mengakar dalam sistem sosial. Oleh karena itu, Guterres menegaskan bahwa dunia tidak boleh tinggal diam ketika kemajuan yang telah diperjuangkan dengan susah payah mulai tergerus.

Sebagai bentuk komitmen nyata, ia kembali menegaskan dukungannya terhadap Gender Equality Clarion Call, bagian dari Rencana Akselerasi Kesetaraan Gender di PBB. Dengan semangat yang sama, ia mengajak seluruh masyarakat dunia untuk memperjuangkan visi Deklarasi Beijing, mempercepat perubahan, dan bergerak maju demi keadilan bagi setiap perempuan dan anak perempuan di mana pun mereka berada.