RUU Kepariwisataan Dibahas, Bali Beri Masukan untuk Regulasi yang Lebih Adaptif

Wakil Menteri Pariwisata (Wamenpar) Ni Luh Puspa bersama Komisi VII DPR RI menggelar dialog langsung dengan para pelaku industri pariwisata di Bali untuk menyerap aspirasi dalam pembahasan RUU Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.

Diskusi yang berlangsung di Kabupaten Badung, Kamis, ini menjadi momen bagi pemerintah untuk mendengar berbagai masukan terkait regulasi kepariwisataan. Ni Luh Puspa menegaskan pentingnya pembaruan undang-undang agar lebih sesuai dengan perkembangan industri pariwisata saat ini, terutama pascapandemi COVID-19.

“Kami menerima banyak sekali masukan yang sangat detail, pasal demi pasal. Kami berharap proses ini bisa segera selesai karena RUU ini merupakan carry over dari periode sebelumnya,” ujar Wamenpar.

Menurutnya, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 selama ini telah memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan sektor pariwisata, termasuk dalam pengembangan destinasi, pemasaran, dan kelembagaan. Namun, setelah lebih dari satu dekade, diperlukan penyesuaian agar lebih responsif terhadap perubahan zaman.

Sebagai destinasi wisata utama Indonesia, Bali turut berperan aktif dalam pembahasan ini. Sebanyak 23 perhimpunan dan lembaga yang bergerak di sektor pariwisata hadir untuk memberikan usulan, termasuk Dinas Pariwisata Bali yang mengajukan 13 perubahan dan tambahan dalam sejumlah pasal.

Organisasi lain seperti Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Bali, Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA), Forum Komunikasi Desa Wisata, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), serta akademisi juga menyampaikan berbagai masukan serta tantangan yang dihadapi oleh sektor pariwisata di Bali.

“Ada masukan yang berkaitan langsung dengan undang-undang, dan ada juga yang berada di luar ranah regulasi. Semua ini akan kami bahas lebih lanjut bersama kementerian dan lembaga terkait di pusat,” tambah Wamenpar.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bersama DPR RI telah sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU Kepariwisataan dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari pelaku industri. Pemerintah juga telah menyusun daftar inventarisasi masalah guna mempercepat proses penyusunan regulasi yang lebih relevan.

Dengan adanya kolaborasi antara pemerintah dan pemangku kepentingan, diharapkan RUU Kepariwisataan yang baru dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membangun industri pariwisata yang berkelanjutan, inklusif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.

Harga Cabai, Telur, dan Bawang Putih Melonjak Tajam, Inflasi Januari 2025 Tetap Terkendali

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan lonjakan harga beberapa komoditas utama seperti cabai rawit, telur ayam ras, dan bawang putih yang melampaui Harga Acuan Penjualan (HAP).

Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, mengungkapkan bahwa rata-rata harga cabai rawit secara nasional mencapai Rp69.163 per kg, jauh di atas HAP yang berkisar antara Rp40 ribu hingga Rp57 ribu per kg. Harga cabai rawit mengalami kenaikan signifikan sebesar 45,74 persen dibandingkan Desember 2024.

Kenaikan harga juga terjadi pada telur ayam ras, terutama di luar Pulau Jawa dan Sumatera, yang mencapai Rp34.470 per kg. Sementara itu, harga bawang putih juga meroket dengan rata-rata nasional mencapai Rp48.380 per kg. Amalia menyebut bahwa harga bawang putih di hampir seluruh wilayah Indonesia telah menembus angka Rp40 ribu per kg.

Meskipun terjadi lonjakan harga komoditas pangan, tingkat inflasi pada Januari 2025 tercatat hanya 0,76 persen secara tahunan (year on year/yoy), yang merupakan angka inflasi terendah sejak tahun 2000. Amalia menjelaskan bahwa salah satu faktor utama yang menekan inflasi adalah diskon tarif listrik sebesar 50 persen yang diberikan pemerintah pada Januari hingga Februari 2025.

Cabai rawit menjadi komoditas dengan kontribusi terbesar terhadap inflasi Januari 2025, menyumbang andil sebesar 0,11 persen, diikuti oleh beras (0,09 persen), telur ayam ras (0,07 persen), dan daging ayam ras (0,06 persen).