Myanmar Tangguhkan Sementara Penerbitan Visa Wisata Usai Gempa, Turis Diberi Imbauan Menunda Perjalanan

Pemerintah Myanmar secara resmi mengumumkan penangguhan sementara penerbitan visa turis bagi wisatawan internasional setelah gempa besar yang mengguncang negara tersebut.

“Kami meminta maaf, namun akibat dampak dari bencana ini, mulai Kamis (3/4/2025) kami akan menangguhkan sementara permohonan visa turis,” ungkap Kementerian Imigrasi dan Kependudukan Myanmar dalam pernyataannya, yang dikutip dari The Travel pada Rabu (16/4).

Kedutaan Besar Malaysia menjelaskan bahwa penangguhan ini hanya berlaku untuk visa wisata, sementara permohonan visa bisnis tetap berjalan normal. Mereka juga menambahkan bahwa informasi lebih lanjut akan diberikan setelah layanan kembali normal.

Myanmar memang dikenal dengan kekayaan budaya dan sejarahnya, meskipun akses untuk berwisata ke negara ini relatif sulit. Negara ini juga telah lama dilanda konflik bersenjata yang membuat banyak wisatawan ragu untuk berkunjung.

Setelah pandemi global berakhir, sektor pariwisata Myanmar perlahan pulih. Pada tahun 2024, negara ini mencatatkan kedatangan lebih dari satu juta wisatawan internasional.

Sayangnya, harapan tersebut terganggu setelah gempa bumi berkekuatan 7,7 skala richter mengguncang kawasan Mandalay dan sekitarnya. Banyak bangunan yang hancur, termasuk gedung pencakar langit, rumah-rumah warga, masjid, kuil-kuil kuno, dan situs-situs bersejarah yang sering dikunjungi wisatawan.

Selain itu, infrastruktur vital seperti jaringan listrik dan komunikasi terhenti, sementara jalan utama mengalami kerusakan serius akibat runtuhnya bangunan. Pemerintah Myanmar mengimbau wisatawan untuk menunda perjalanan mereka, terutama ke wilayah yang terdampak bencana.

Selain faktor keamanan, keberadaan wisatawan juga dikhawatirkan dapat mengganggu proses penyelamatan dan pemulihan di lapangan. Gempa susulan yang terjadi hingga pertengahan April, beberapa di antaranya cukup kuat, memperburuk kondisi.

Gempa juga menimbulkan kerusakan besar pada hotel-hotel mewah di Myanmar dan Thailand. Wisatawan yang telah memesan akomodasi di kawasan terdampak disarankan untuk menghubungi terlebih dahulu pihak hotel untuk memastikan kondisi bangunan, akses jalan, dan fasilitas dasar, mengingat kerusakan yang meluas.

Kondisi di lapangan masih sangat memprihatinkan. Pencarian korban terus dilakukan, dan jumlah korban tewas serta terluka terus meningkat setiap hari.

Menurut perkiraan awal dari USGS, jumlah korban dapat mencapai hingga 10.000 orang. Pada pertengahan April, tercatat lebih dari 5.350 orang meninggal di Myanmar dan 48 orang di Thailand. Jumlah korban luka hampir mencapai 7.900 orang, dan ratusan lainnya masih dilaporkan hilang.

Kondisi semakin genting setelah gempa berkekuatan 5,5 skala richter kembali mengguncang Mandalay pada Minggu (13/4), mengingatkan bahwa keadaan belum sepenuhnya aman.

Krisis Pangan Mengancam Pengungsi Rohingya, WFP Minta Pendanaan Mendesak

Program Pangan Dunia (WFP) PBB mengeluarkan permohonan mendesak untuk pendanaan guna mencegah pengurangan jatah makanan bagi lebih dari satu juta pengungsi Rohingya di Bangladesh. Organisasi ini membutuhkan dana sebesar 15 juta dolar AS untuk bulan April dan total 81 juta dolar AS hingga akhir 2025 agar dapat mempertahankan distribusi pangan sepenuhnya. Jika pendanaan tidak segera tersedia, jatah makanan bulanan per orang akan dipangkas dari 12,50 dolar menjadi hanya 6 dolar, terutama menjelang Idulfitri di akhir Maret. WFP Bangladesh telah menginformasikan rencana ini kepada pejabat pengungsi setempat, dengan pemotongan yang dijadwalkan berlaku mulai 1 April.

Direktur WFP di Bangladesh, Dom Scalpelli, menegaskan bahwa krisis pengungsi Rohingya masih menjadi salah satu yang terbesar dan terlama di dunia. Para pengungsi di Bangladesh sangat bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup, dan pemotongan bantuan pangan dapat memperburuk situasi mereka, memicu kelaparan, serta mendorong tindakan putus asa demi bertahan hidup. Pemerintah Bangladesh mengaitkan krisis ini dengan penghentian pendanaan oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID), yang sebelumnya menyumbang 80 persen dana WFP untuk Rohingya.

Selain itu, meningkatnya jumlah pengungsi yang melarikan diri dari konflik di Myanmar, dengan lebih dari 100.000 orang menyeberang ke Bangladesh dalam beberapa bulan terakhir, semakin menambah beban pada sumber daya yang sudah terbatas. Pada 2023, kekurangan dana memaksa WFP memangkas jatah makanan dari 12 dolar menjadi 8 dolar per orang per bulan, meskipun jumlah tersebut sempat meningkat ketika dana tambahan tersedia. Para pengungsi Rohingya menerima voucher yang bisa ditukar dengan makanan di pengecer yang telah ditunjuk di kamp-kamp pengungsian di Cox’s Bazar, tempat lebih dari 1,2 juta pengungsi berlindung sejak 2017.

Tanpa status hukum, kebebasan bergerak, atau peluang mata pencaharian yang stabil, pemotongan lebih lanjut akan semakin memperburuk kondisi perlindungan dan keamanan para pengungsi. WFP menegaskan bahwa dukungan segera diperlukan agar situasi ini tidak berkembang menjadi krisis yang lebih besar.