BEI Tunggu Putusan Final Pailit Sritex, Delisting Jadi Perhatian

Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah menunggu dokumen hukum resmi terkait keputusan final pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex. Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna, menyatakan bahwa pihaknya akan berkoordinasi lebih lanjut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait perubahan status perusahaan dari terbuka menjadi tertutup, termasuk proses delisting. Jika SRIL resmi dinyatakan pailit, BEI akan menyampaikan laporan kepada OJK sebagaimana diatur dalam POJK 45 tahun 2024.

Sebagai langkah perlindungan bagi investor, Pasal 18 POJK 45 tahun 2024 mengharuskan perubahan status perusahaan terbuka menjadi tertutup melalui beberapa tahapan, termasuk persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) serta kewajiban perusahaan untuk melakukan pembelian kembali seluruh saham milik pemegang saham publik. Proses ini harus dilakukan hingga jumlah pemegang saham kurang dari 50 pihak atau sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh OJK. Nyoman juga menambahkan bahwa prosedur serta jangka waktu pelaksanaan RUPS akan ditentukan oleh OJK.

Terkait dengan buyback saham, proses ini harus diselesaikan dalam waktu enam bulan sejak keterbukaan informasi diumumkan. Jika diperlukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang satu kali dengan durasi maksimal enam bulan guna memenuhi ketentuan yang berlaku.

Sebagai informasi, saham SRIL telah disuspensi oleh BEI sejak 18 Mei 2021 dan kini telah mencapai lebih dari 24 bulan. Berdasarkan ketentuan Peraturan Bursa nomor I-N, saham suatu perusahaan dapat dikeluarkan dari pencatatan atau delisting jika telah mengalami suspensi di seluruh pasar selama minimal dua tahun.

Airlangga Pastikan Tidak Ada Bailout Untuk Sritex

Pada tanggal 3 November 2024, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengkonfirmasi bahwa pemerintah tidak akan memberikan bailout kepada PT Sri Rejeki Isman (Sritex), perusahaan tekstil besar yang tengah mengalami kesulitan finansial. Pernyataan ini penting untuk memberikan kejelasan kepada pasar dan stakeholder mengenai langkah pemerintah terkait perusahaan yang memiliki peranan besar dalam industri tekstil nasional.

Airlangga menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak memberikan bailout diambil setelah mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk dampak jangka panjang terhadap anggaran negara dan prinsip keberlanjutan bisnis. Pemerintah berkomitmen untuk mendorong perusahaan agar lebih mandiri dan tidak bergantung pada dana publik untuk mengatasi masalah keuangan mereka.

Sebagai alternatif, Airlangga mendorong Sritex untuk melakukan restrukturisasi internal sebagai solusi untuk mengatasi tantangan yang dihadapi. Dengan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap operasi dan keuangan, perusahaan diharapkan dapat menemukan cara untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing. Hal ini menjadi penting agar Sritex dapat bertahan di pasar yang semakin kompetitif.

Menko Perekonomian juga menekankan pentingnya dukungan dari sektor swasta dalam proses pemulihan Sritex. Investasi dan kemitraan dengan pihak swasta dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah likuiditas yang dihadapi perusahaan. Dengan melibatkan sektor swasta, diharapkan akan ada sinergi yang positif dalam mengembangkan industri tekstil nasional.

Pemerintah akan terus memantau perkembangan Sritex dan memberikan dukungan dalam bentuk bimbingan dan kebijakan yang mendukung. Meski tidak ada bailout, langkah-langkah strategis akan diambil untuk membantu perusahaan agar dapat beradaptasi dan berkembang. Ini termasuk memberikan akses pada pelatihan dan peningkatan kapasitas untuk karyawan.

Dengan keputusan untuk tidak memberikan bailout, pemerintah berharap Sritex dapat bangkit dan bertransformasi menjadi perusahaan yang lebih kuat dan mandiri. Langkah ini diharapkan tidak hanya menyelamatkan Sritex, tetapi juga memberikan dampak positif bagi industri tekstil nasional secara keseluruhan. Melalui restrukturisasi dan kolaborasi dengan sektor swasta, masa depan yang lebih cerah bagi Sritex dan industri tekstil Indonesia diharapkan dapat terwujud.