Menlu Turki Dan Arab Saudi Bahas Perkembangan Terbaru Di Suriah

Pada 2 Desember 2024, Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki, Hakan Fidan, dan Menlu Arab Saudi, Faisal bin Farhan Al Saud, bertemu untuk membahas perkembangan terbaru terkait krisis di Suriah. Pertemuan ini berlangsung di Riyadh dan menjadi salah satu upaya diplomatik kedua negara untuk mencari solusi atas konflik yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Sebagai negara-negara dengan pengaruh besar di Timur Tengah, Turki dan Arab Saudi memiliki peran penting dalam meredakan ketegangan di Suriah dan mendukung proses perdamaian yang inklusif.

Dalam pertemuan tersebut, kedua Menlu fokus pada isu-isu utama yang berkaitan dengan keamanan di Suriah, termasuk keberadaan kelompok-kelompok teroris yang masih aktif di beberapa wilayah, serta dampak dari intervensi asing. Selain itu, mereka juga membahas upaya untuk mendukung pemulihan negara tersebut setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara. Salah satu topik penting yang dibicarakan adalah bagaimana memastikan bantuan kemanusiaan dapat sampai ke wilayah-wilayah yang membutuhkan, serta mempercepat proses rekonstruksi Suriah yang hancur akibat perang.

Turki dan Arab Saudi telah lama terlibat dalam krisis Suriah, dengan Turki mendukung kelompok oposisi yang berusaha menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad, sementara Arab Saudi juga memberikan dukungan serupa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara mulai mengubah pendekatannya dengan mencari solusi diplomatik yang lebih inklusif. Pertemuan ini mencerminkan upaya kedua negara untuk bekerja sama dalam mendamaikan perbedaan mereka dan berkoordinasi dalam menghadapai tantangan yang ada di Suriah, termasuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan rezim Assad.

Selain membahas Suriah, kedua Menlu juga membicarakan potensi kerja sama lebih lanjut antara Turki dan Arab Saudi dalam berbagai sektor, seperti ekonomi dan energi. Hubungan bilateral yang lebih erat diharapkan dapat membantu stabilitas kawasan Timur Tengah yang semakin kompleks. Dalam konteks ini, kerjasama dalam mengatasi dampak dari konflik Suriah, serta pembentukan zona aman dan rekonstruksi wilayah yang terdampak perang, menjadi prioritas utama. Kedua negara juga sepakat untuk meningkatkan peran mereka dalam organisasi internasional, seperti PBB, guna mendukung solusi damai di Suriah.

Meskipun ada kemajuan dalam dialog ini, tantangan utama dalam mencapainya adalah perbedaan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat, baik di dalam Suriah maupun negara-negara besar seperti Rusia dan Amerika Serikat. Selain itu, adanya perbedaan strategi antara Turki dan Arab Saudi terkait pendekatan terhadap kelompok-kelompok oposisi dan aliansi dengan berbagai aktor internasional membuat situasi di Suriah masih sangat rumit. Meski demikian, upaya diplomatik yang dilakukan oleh Turki dan Arab Saudi menjadi langkah positif dalam mencari jalan keluar dari krisis yang telah berlangsung lama ini.

Pertemuan antara Menlu Turki dan Arab Saudi ini menjadi indikasi bahwa diplomasi tetap menjadi salah satu kunci utama dalam penyelesaian krisis Suriah. Meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi, kedua negara ini berkomitmen untuk terus bekerja sama dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Dengan upaya bersama, harapan untuk menemukan solusi damai bagi Suriah semakin terbuka, meskipun prosesnya tidak akan mudah.

Turki Dianggap Munafik, Kapal Kargo Anadolu S Dirudal Houthi Karena Terus Berdagang Dengan Israel

Pada 21 November 2024, ketegangan antara Turki dan kelompok Houthi semakin meningkat setelah kapal kargo Turki, Anadolu S, dihantam rudal oleh pasukan Houthi di Laut Merah. Serangan ini dipicu oleh tuduhan bahwa Turki terus menjalin hubungan perdagangan dengan Israel, meskipun kelompok Houthi dan negara-negara tertentu di kawasan Timur Tengah menganggap hal tersebut sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip solidaritas terhadap Palestina. Houthi menuduh Turki bersikap munafik, karena meskipun secara politik mengkritik Israel, mereka tetap melakukan perdagangan dengan negara tersebut.

Kapal kargo Anadolu S yang sedang dalam perjalanan dari pelabuhan Turki menuju negara ketiga di Timur Tengah menjadi sasaran serangan rudal di perairan internasional. Houthi, yang berbasis di Yaman dan telah lama menjadi kelompok oposisi terhadap negara-negara yang mendukung Israel, menganggap aktivitas perdagangan Turki dengan Israel sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan Palestina. Serangan ini merupakan bagian dari serangkaian aksi yang semakin sering dilakukan oleh Houthi terhadap kapal-kapal yang berhubungan dengan Israel.

Pemerintah Turki mengutuk serangan tersebut dan menyatakan bahwa mereka berhak untuk menjalankan kebijakan perdagangan internasional sesuai dengan kepentingan nasional mereka. Presiden Turki menegaskan bahwa hubungan ekonomi dengan Israel adalah masalah yang tidak dapat dipengaruhi oleh kelompok atau negara lain. Di sisi lain, negara-negara internasional, termasuk sekutu-sekutu Turki, mengecam aksi kekerasan ini dan menyerukan upaya diplomasi untuk meredakan ketegangan di kawasan.

Serangan terhadap kapal Turki ini memperburuk hubungan antara Turki dan negara-negara yang menentang hubungan diplomatik dengan Israel. Kejadian ini semakin menambah kompleksitas situasi geopolitik di Timur Tengah, di mana dinamika antara negara-negara besar dan kelompok-kelompok pemberontak terus berkembang. Pasokan barang dan perdagangan antar negara di kawasan ini pun diperkirakan akan terpengaruh oleh ketegangan yang terus meningkat.

Turki Bombardir Suriah Akibatkan 27 Orang Tewas, Kenapa?

Turki dilaporkan melakukan serangan drone ke wilayah Suriah, yang mengakibatkan 27 orang tewas pada Kamis (24/11). Serangan ini terjadi kurang dari 24 jam setelah dugaan serangan “teroris” menghantam pabrik penerbangan Turki di Ankara.

Menurut laporan dari Syrian Observatory for Human Rights, serangan udara dan darat Turki mengalami peningkatan drastis di wilayah utara dan timur Suriah sejak Kamis. Observatorium ini mendokumentasikan setidaknya 45 serangan drone dan empat serangan jet tempur yang menargetkan berbagai infrastruktur penting di Suriah, termasuk stasiun air, listrik, dan gas.

Dilansir dari AFP, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didominasi militan Kurdi menyatakan bahwa serangan ini mengakibatkan 12 warga sipil tewas di timur laut Suriah, serta melukai 25 orang lainnya. “Selain pemukiman warga, serangan udara dan drone Turki juga menyasar pabrik roti, stasiun listrik, fasilitas minyak, serta pos pemeriksaan Pasukan Keamanan Internal Kurdi,” ungkap SDF dalam pernyataan resmi mereka.

Pada tahun 2019, SDF dibantu dengan Amerika Serikat mengatur operasi melawan group teroris ISIS di Suriah. Namun, Turki menganggap Unit Perlindungan Rakyat Kurdi (YPG) yang berperan besar dalam SDF sebagai afiliasi dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK), yang dianggap Turki sebagai organisasi teroris.

Pasukan Turki dan kelompok sekutunya telah menguasai sebagian wilayah utara Suriah melalui serangkaian serangan lintas batas sejak 2016, yang sebagian besar diarahkan kepada SDF.

Serangan ini terjadi hanya sehari setelah Ankara meluncurkan serangan udara terhadap 32 sasaran Kurdi di wilayah Irak dan Suriah. Tindakan ini dilakukan setelah Turki menuding PKK sebagai dalang di balik serangan terhadap markas Turkish Aerospace Industries (TAI) di Ankara.

Beberapa jam setelah kejadian tersebut, Kementerian Pertahanan Turki mengumumkan serangan udara terhadap sasaran militan di wilayah utara Irak dan Suriah, dengan pernyataan bahwa “sebanyak 32 target milik teroris berhasil dihancurkan.”

Serangan terbaru Turki ke Suriah ini berlangsung di tengah ketegangan yang semakin meningkat di Timur Tengah, dengan konflik yang juga melibatkan Israel dan kelompok-kelompok militan seperti Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan Houthi di Yaman.

Ankara telah menyiagakan pasukan di dekat perbatasan Suriah, mengantisipasi situasi yang semakin memanas akibat serangan Israel yang semakin mendekati wilayah perbatasan Turki.