Bursa Saham Paling Menguntungkan Sepanjang 10 Tahun Terakhir

Selama sepuluh tahun terakhir, pasar saham global menghadapi berbagai tantangan besar, mulai dari perang dagang yang dimulai pada 2018, dampak pandemi Covid-19 di 2020, hingga ketegangan perdagangan yang kembali memanas antara Amerika Serikat dan China. Meski demikian, bursa saham Amerika Serikat dan India berhasil mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan, sementara pasar China malah mengalami penurunan yang signifikan.

Menurut data yang dirilis CNBC Research Indonesia, indeks NASDAQ di Amerika Serikat mencatatkan pertumbuhan terbesar dengan kenaikan 239,03% dalam sepuluh tahun terakhir, yang setara dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 12,99%. Di posisi kedua, indeks SENSEX dari India mengalami pertumbuhan 190,06% (CAGR 11,24%), sementara S&P 500 di Amerika Serikat mengikuti dengan kenaikan 160,15% (CAGR 10,03%). Indeks Bovespa dari Brasil juga menunjukkan performa positif dengan kenaikan 142,27% (CAGR 9,25%).

Di sisi lain, indeks Dow Jones tumbuh sebesar 122,30% (CAGR 8,32%), diikuti oleh bursa saham Jerman, DAX, dengan kenaikan 83,33% (CAGR 6,25%) dan Jepang melalui Nikkei 225 sebesar 77,55% (CAGR 5,91%). Beberapa negara lain seperti Afrika Selatan, Kanada, dan Italia juga mencatatkan pertumbuhan meski di bawah 6%. Namun, pasar saham China mengalami penurunan yang cukup tajam. Indeks Shanghai Composite turun -24,19%, sementara Shenzhen Component anjlok hingga -31,82%. Indonesia sendiri mencatatkan kenaikan moderat sebesar 28,11% (CAGR 2,51%), sedikit lebih baik dibandingkan dengan Meksiko yang tumbuh 23,19% (CAGR 2,11%).

Rupiah Menguat, BI Pertahankan Suku Bunga di Tengah Optimisme Pasar Global

Keputusan Bank Indonesia (BI) untuk mempertahankan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan April 2025 dinilai sebagai langkah strategis dalam menjaga kestabilan nilai tukar rupiah. Menurut analis mata uang dari Doo Financial Futures, Lukman Leong, keteguhan BI dalam menjaga kestabilan kurs memberikan dukungan terhadap penguatan rupiah di tengah gejolak ekonomi global yang meningkat.

Dalam hasil RDG tersebut, suku bunga acuan BI-Rate tetap ditahan di angka 5,75 persen. BI juga tidak mengubah suku bunga deposit facility yang tetap di level 5 persen, serta lending facility di angka 6,5 persen. Kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan prediksi inflasi untuk 2025 dan 2026 agar tetap berada dalam target 2,5±1 persen, serta menjaga stabilitas rupiah yang dinilai masih sesuai dengan nilai fundamentalnya. Di sisi lain, keputusan ini juga dianggap mendukung pertumbuhan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global.

Di pasar global, optimisme meningkat seiring potensi terbukanya dialog dagang antara Amerika Serikat dan China. Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengungkapkan bahwa tarif tinggi yang dikenakan kemungkinan tidak akan berlangsung lama, dan Presiden AS Donald Trump mengisyaratkan langkah untuk menurunkan ketegangan perdagangan. Walaupun tarif final tidak akan mencapai 145 persen, bea masuk tersebut tidak akan kembali ke angka nol.

Dengan membaiknya sentimen pasar, rupiah diperkirakan menguat terhadap dolar AS dan akan bergerak di kisaran Rp16.750 hingga Rp16.900 per dolar. Pada awal perdagangan Kamis pagi di Jakarta, rupiah menguat 6 poin atau sekitar 0,04 persen ke posisi Rp16.866 per dolar AS, dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.872.

Rupiah Tertekan di Tengah Perang Dagang AS-China dan Guncangan di The Fed

Pelemahan nilai tukar rupiah kembali terjadi, dan kali ini dipicu oleh eskalasi ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan China. Direktur Laba Forexindo Berjangka sekaligus pengamat mata uang, Ibrahim Assuabi, menilai bahwa tekanan pada rupiah berasal dari langkah keras China dalam menanggapi kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Negeri Tirai Bambu disebut telah memberikan peringatan tegas kepada negara-negara yang menjalin kesepakatan perdagangan dengan AS, yang dianggap merugikan kepentingan China.

Kementerian Perdagangan China mengungkapkan bahwa AS terus menggunakan tarif dan sanksi finansial sebagai alat untuk menekan negara-negara mitra dagang agar membatasi hubungan mereka dengan China. Tindakan ini dibalas oleh China dengan mengenakan tarif balasan sebesar 125 persen, setelah sebelumnya AS menaikkan tarif hingga 145 persen terhadap produk-produk asal China. Situasi ini menciptakan kekhawatiran di pasar global, termasuk Indonesia, karena memicu gejolak ekonomi dan ketidakpastian dalam rantai perdagangan internasional.

Selain faktor eksternal dari konflik dagang, pasar juga gelisah akibat rencana Presiden Donald Trump untuk melakukan restrukturisasi Federal Reserve dan memecat Gubernur Jerome Powell. Trump menilai bahwa bank sentral perlu segera memangkas suku bunga agar ekonomi AS tidak melambat. Namun, Powell tetap bersikukuh bahwa belum ada alasan kuat untuk memotong suku bunga, mengingat tekanan inflasi dan ketidakpastian kebijakan tarif yang terus berkembang.

Situasi ini berdampak langsung pada nilai tukar rupiah. Pada penutupan perdagangan hari ini, rupiah melemah sebesar 53 poin atau 0,32 persen menjadi Rp16.860 per dolar AS, dari posisi sebelumnya Rp16.807. Sementara itu, kurs referensi JISDOR Bank Indonesia juga mencatat pelemahan rupiah ke angka Rp16.862 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.808.

Jepang Cemas: Tarif Impor Trump Picu Ketegangan Dagang Global

Jepang tengah diliputi kekhawatiran setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memicu perang dagang dengan memberlakukan tarif impor tinggi terhadap sejumlah negara. Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, menilai kebijakan ini dimanfaatkan Trump sebagai alat negosiasi ekonomi.

“Kami khawatir atas situasi ini,” ujar Masaki kepada awak media dalam acara Perayaan Ulang Tahun Kaisar Jepang di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Kamis (20/2). Ia menambahkan bahwa kebijakan tarif terhadap China berdampak negatif bagi perekonomian global. Masaki menyatakan bahwa kebijakan semacam ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia dan memperburuk hubungan perdagangan antarnegara.

Sebelumnya, Trump mengumumkan tarif impor sebesar 10 persen untuk produk asal China. Sebagai balasan, China menetapkan tarif 15 persen untuk impor batu bara dan gas alam cair (LNG) dari AS, yang akan berlaku mulai 10 Februari 2025, menurut Komisi Tarif Bea Cukai Dewan Negara China. Langkah saling balas ini memicu kekhawatiran akan potensi eskalasi konflik dagang yang dapat memengaruhi sektor bisnis global.

Masaki menekankan pentingnya kerja sama multilateral antara Jepang, Indonesia, dan negara lainnya untuk meyakinkan AS agar mematuhi aturan perdagangan internasional. Menurutnya, pendekatan kolektif dapat mendorong AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya. “Kita harus menghindari eskalasi perang dagang, baik antara China dan AS maupun negara lainnya,” tegasnya.

Langkah Trump ini bertujuan melindungi dan memperkuat perekonomian AS. Namun, dampaknya telah memicu kekhawatiran global karena berpotensi mengganggu stabilitas perdagangan internasional. Negara-negara di seluruh dunia kini menghadapi tantangan untuk menjaga keseimbangan ekonomi sambil meredam dampak negatif dari kebijakan proteksionisme AS. Situasi ini memerlukan diplomasi yang cermat agar konflik dagang tidak semakin meluas dan merugikan berbagai sektor ekonomi di tingkat global.

Jet Latih Militer Taiwan Jatuh Akibat Kegagalan Mesin Ganda, Pilot Selamat

Sebuah jet latih militer Brave Eagle buatan Taiwan mengalami kecelakaan pada Sabtu (15/2) akibat kegagalan mesin ganda. Insiden terjadi setelah pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Chih Hang di Taitung Selatan.

Pilot, Mayor Lin, berhasil keluar menggunakan kursi pelontar dan segera dievakuasi ke rumah sakit. Berdasarkan laporan Angkatan Udara Taiwan, kondisinya stabil tanpa cedera.

Pihak militer mengonfirmasi bahwa pesawat mengalami kegagalan pada kedua mesinnya. Sebagai tindak lanjut, satuan tugas khusus akan dibentuk untuk menyelidiki penyebab insiden ini guna meningkatkan keselamatan latihan penerbangan.

Taiwan terus mengembangkan industri pertahanannya, termasuk produksi pesawat tempur secara lokal. Namun, negara ini tetap bergantung pada bantuan persenjataan dari Amerika Serikat guna menghadapi ancaman dari China, yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan kerap menunjukkan agresi militer di sekitar pulau itu.

Brave Eagle sendiri merupakan hasil produksi Aerospace Industrial Development Corporation (AIDC) Taiwan dan telah menjalani uji terbang sejak 2020. Mayor Lin, yang menerbangkan pesawat tersebut, memiliki pengalaman terbang selama 183 jam sebelum kecelakaan terjadi.

Sebelumnya, pada September lalu, Taiwan juga sempat menghentikan sementara operasional armada jet tempur Mirage 2000 untuk pemeriksaan keamanan setelah salah satu unit jatuh ke laut. Jet ini dibeli dari Prancis pada 1992, dan masih menjadi bagian penting dari armada pertahanan udara Taiwan, bersama F-16 buatan AS dan Indigenous Defence Fighters yang dikembangkan secara lokal.

Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan militer dari China terus meningkat. Selama 24 jam terakhir sebelum insiden ini, Kementerian Pertahanan Taiwan mendeteksi 19 pesawat militer China, delapan kapal Angkatan Laut, satu kapal pengawas, dan satu balon di sekitar wilayahnya.

Menanggapi situasi ini, Presiden Taiwan, Lai Ching-te, berharap parlemen yang dikuasai oposisi dapat merevisi anggaran pertahanan untuk memperkuat kemampuan militer Taiwan menghadapi ancaman eksternal.

China Harap Donald Trump Pilih Kerja Sama, Bukan Konfrontasi

Kementerian Luar Negeri China menyatakan harapannya agar Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, memilih untuk bekerja sama dengan China daripada mengambil sikap konfrontatif. Pernyataan ini disampaikan menjelang pelantikan Trump dan mencerminkan keinginan Beijing untuk memulai hubungan yang lebih positif dengan Washington.

Hubungan antara China dan Amerika Serikat telah mengalami banyak pasang surut dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama masa kepresidenan Trump sebelumnya. Ketegangan terjadi akibat berbagai isu, termasuk perdagangan, teknologi, dan hak asasi manusia. Dalam konteks ini, pernyataan dari Kementerian Luar Negeri China menunjukkan bahwa Beijing berusaha untuk memperbaiki hubungan dan menghindari konflik lebih lanjut. Ini mencerminkan kesadaran kedua negara akan pentingnya kolaborasi untuk stabilitas global.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Mao Ning, menekankan bahwa perkembangan hubungan yang stabil dan sehat antara kedua negara akan menguntungkan kedua belah pihak. Dia menyatakan, “Kami selalu percaya bahwa kerja sama lebih menguntungkan dibandingkan konfrontasi.” Pernyataan ini menunjukkan harapan China untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi dialog dan kerjasama di masa mendatang.

Mao Ning juga menegaskan pentingnya prinsip saling menghormati dan hidup berdampingan secara damai dalam menjalin hubungan internasional. Dia menambahkan bahwa kedua negara harus mampu mengelola perbedaan dengan baik, termasuk isu sensitif seperti Taiwan. Ini mencerminkan pendekatan diplomatik yang diambil oleh China dalam menghadapi tantangan dalam hubungan bilateral.

Kedua negara memiliki ekonomi terbesar di dunia, sehingga hubungan mereka sangat berpengaruh terhadap perekonomian global. Kerja sama yang baik antara AS dan China diharapkan dapat memberikan dampak positif tidak hanya bagi kedua negara tetapi juga bagi stabilitas ekonomi dunia. Ini menunjukkan bahwa keputusan politik di tingkat tinggi dapat memengaruhi banyak aspek kehidupan sehari-hari di seluruh dunia.

Dengan pelantikan Donald Trump yang semakin dekat, semua pihak berharap agar kedua negara dapat menemukan jalan untuk bekerja sama demi kepentingan bersama. Diharapkan bahwa pemimpin baru AS akan mempertimbangkan kembali pendekatan mereka terhadap China dan memilih dialog serta kolaborasi daripada konfrontasi. Keberhasilan dalam membangun hubungan yang konstruktif akan menjadi indikator penting bagi masa depan diplomasi antara AS dan China.

Respons Gempa Di Xizang: Tunjukkan Tata Kelola yang Baik Di China

Gempa bumi berkekuatan 7,1 magnitudo mengguncang Xizang (Tibet) pada 7 Januari, menewaskan setidaknya 53 orang dan melukai lebih dari 62 lainnya. Respons cepat dari pemerintah dan lembaga terkait dalam menangani bencana ini menunjukkan tata kelola yang baik di China. Ini mencerminkan kemampuan negara dalam mengelola situasi darurat dan memberikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak.

Gempa terjadi pada pukul 09:05 CST dengan pusat di Tingri County, sekitar 157 km dari Xigazê dan dekat perbatasan Nepal. Selain menimbulkan kerusakan parah pada infrastruktur, lebih dari 1.000 rumah dilaporkan runtuh di daerah tersebut. Banyak warga yang terjebak di bawah reruntuhan, mengharuskan tim penyelamat untuk segera turun tangan. Ini menunjukkan bahwa bencana alam dapat menyebabkan dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat dan infrastruktur.

Pemerintah China segera mengerahkan sekitar 1.500 petugas penyelamat untuk mencari dan menyelamatkan korban yang terjebak. Selain itu, lebih dari 200 tentara juga dikerahkan untuk mendukung operasi pencarian dan penyelamatan. Tindakan cepat ini mencerminkan komitmen pemerintah dalam melindungi warganya dan memberikan bantuan darurat secara efisien. Ini menunjukkan bahwa koordinasi antara berbagai lembaga penting dalam menangani bencana.

Gempa ini menyoroti pentingnya infrastruktur yang tahan gempa dalam mengurangi risiko kerusakan saat bencana terjadi. Meskipun banyak bangunan yang runtuh, upaya pembangunan infrastruktur yang lebih baik di masa depan harus menjadi fokus utama untuk meningkatkan ketahanan daerah terhadap bencana alam. Ini mencerminkan bahwa investasi dalam infrastruktur adalah langkah strategis untuk melindungi masyarakat.

Selain upaya pemerintah, banyak organisasi non-pemerintah dan relawan juga terlibat dalam memberikan bantuan kepada korban. Mereka menyediakan makanan, tempat tinggal sementara, dan dukungan psikologis bagi mereka yang terdampak. Ini menunjukkan solidaritas masyarakat dalam menghadapi bencana dan pentingnya peran komunitas dalam proses pemulihan.

Dengan respons cepat dan terkoordinasi dari pemerintah serta dukungan masyarakat, kejadian gempa di Xizang menjadi contoh bagaimana tata kelola yang baik dapat membantu mengatasi krisis. Semua pihak kini diajak untuk belajar dari pengalaman ini agar dapat meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana di masa depan. Ini menjadi momen penting bagi China untuk terus memperkuat sistem manajemen bencana demi keselamatan warganya.

Pemerintah Turki Targetkan Peningkatan Wisatawan China Pada 2025 Melalui Strategi Promosi yang Agresif

Pada tanggal 31 Desember 2024, Turki mengumumkan rencana ambisius untuk meningkatkan jumlah wisatawan asal China yang berkunjung ke negara tersebut pada tahun 2025. Dengan target mencapai lebih dari 500.000 pengunjung, pemerintah Turki berupaya memanfaatkan potensi pasar pariwisata China yang sedang berkembang pesat.

Turki telah meluncurkan berbagai inisiatif pemasaran untuk menarik perhatian wisatawan China, termasuk promosi destinasi ikonik seperti Cappadocia, Pamukkale, dan Ephesus. Selain itu, Turki juga memperkenalkan tempat-tempat wisata yang kurang dikenal untuk memberikan pengalaman baru bagi para pelancong. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik Turki sebagai tujuan wisata utama di Asia.

Untuk mendukung target ini, pemerintah Turki bekerja sama dengan maskapai penerbangan untuk meningkatkan frekuensi penerbangan langsung dari kota-kota besar di China seperti Beijing dan Shanghai ke Istanbul. Dengan lebih banyak pilihan penerbangan, diharapkan akan memudahkan wisatawan China untuk melakukan perjalanan ke Turki. Hal ini juga mencerminkan komitmen Turki dalam memperkuat konektivitas internasional.

Turki menyadari bahwa wisatawan China kini lebih memilih pengalaman yang unik dan berbeda. Oleh karena itu, program-program pariwisata yang ditawarkan akan mencakup kegiatan budaya, kuliner, dan petualangan yang menarik. Dengan menyesuaikan penawaran dengan preferensi wisatawan muda yang tech-savvy, Turki berharap dapat memenuhi harapan mereka akan pengalaman yang tak terlupakan.

Turki juga memperkuat kerjasama dengan otoritas pariwisata China untuk mempromosikan destinasi mereka secara lebih efektif. Pertemuan antara pejabat pariwisata kedua negara telah menghasilkan kesepakatan untuk meningkatkan promosi bersama dan memastikan kenyamanan serta keamanan wisatawan selama berada di Turki. Upaya ini menunjukkan komitmen kedua negara dalam memperkuat hubungan pariwisata.

Dengan semua langkah strategis yang diambil, Turki optimis dapat mencapai target peningkatan jumlah wisatawan China pada tahun 2025. Semua pihak kini menantikan dampak positif dari inisiatif ini terhadap sektor pariwisata nasional dan perekonomian secara keseluruhan. Keberhasilan dalam menarik lebih banyak wisatawan China tidak hanya akan memperkuat posisi Turki sebagai destinasi wisata tetapi juga membuka peluang baru bagi pertumbuhan ekonomi lokal.

Negara Jerman Desak EU Capai Kesepakatan Tarif EV Dengan China

Berlin – Pemerintah Jerman mendesak Uni Eropa (EU) untuk segera mencapai kesepakatan mengenai kebijakan tarif untuk kendaraan listrik (EV) yang diimpor dari China. Desakan ini muncul setelah kekhawatiran bahwa tarif tinggi terhadap EV buatan China dapat merugikan industri otomotif Eropa, khususnya di tengah persaingan yang semakin ketat di pasar kendaraan listrik global. Jerman, sebagai salah satu negara dengan industri otomotif terbesar di Eropa, menganggap kesepakatan tarif ini sangat penting untuk keberlanjutan pertumbuhan sektor otomotif Eropa.

Seiring dengan meningkatnya permintaan akan kendaraan listrik di seluruh dunia, negara-negara besar seperti China mulai mendominasi pasar EV global, dengan harga yang sangat kompetitif. Dalam beberapa tahun terakhir, China berhasil menguasai sebagian besar pangsa pasar EV dengan harga yang lebih rendah dibandingkan kendaraan listrik buatan Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan produsen otomotif Eropa yang merasa kesulitan untuk bersaing, mengingat banyaknya insentif yang diberikan oleh pemerintah China untuk mendukung industri EV domestik mereka.

Jerman, sebagai pemimpin industri otomotif Eropa, mendorong agar Uni Eropa menetapkan kesepakatan tarif yang tidak hanya melindungi pasar domestik, tetapi juga memastikan bahwa persaingan tetap adil. Jerman mengingatkan bahwa kebijakan tarif yang tidak tepat justru dapat menyebabkan ketegangan ekonomi dan memengaruhi daya saing produsen mobil Eropa. Hal ini juga dikhawatirkan dapat mengganggu hubungan perdagangan antara EU dan China, yang selama ini cukup strategis bagi kedua pihak.

Selain memperjuangkan kepentingan industri otomotif, Jerman juga mengingatkan bahwa kesepakatan tarif harus dilakukan dengan pendekatan diplomasi ekonomi yang bijaksana. Menurut pejabat Jerman, EU harus memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merusak hubungan perdagangan jangka panjang dengan China. Sebab, China merupakan salah satu mitra dagang terbesar bagi negara-negara Eropa. Oleh karena itu, Jerman berharap kesepakatan tarif dapat dicapai tanpa menimbulkan ketegangan politik yang bisa berdampak pada perdagangan antarnegara.

Proses negosiasi ini telah berlangsung selama beberapa bulan dan melibatkan banyak negara anggota Uni Eropa. Beberapa negara, termasuk Jerman, ingin agar tarif EV yang diimpor dari China tidak terlalu tinggi, sementara negara-negara lain seperti Prancis dan Italia cenderung mendukung kebijakan yang lebih protektif terhadap industri otomotif domestik mereka. Meski demikian, Jerman terus mendorong agar solusi terbaik ditemukan untuk menciptakan kesepakatan yang menguntungkan seluruh pihak, terutama dalam menjaga keseimbangan pasar EV di Eropa.

Dengan berkembangnya pasar kendaraan listrik, industri otomotif Eropa harus cepat beradaptasi untuk mempertahankan daya saingnya. Kesepakatan tarif dengan China dianggap sebagai langkah awal untuk memastikan bahwa industri EV Eropa tetap dapat bertumbuh secara berkelanjutan. Jerman berharap bahwa melalui kebijakan yang tepat, Eropa dapat terus menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik global, dengan tetap menjaga hubungan yang sehat dengan China sebagai salah satu pasar terbesar dunia.

Desakan Jerman agar Uni Eropa segera mencapai kesepakatan tarif dengan China menunjukkan keseriusan negara ini dalam menjaga posisi kompetitif industri otomotif Eropa. Kebijakan tarif yang tepat akan menjadi kunci untuk memastikan keberlanjutan pasar kendaraan listrik di Eropa, tanpa mengorbankan hubungan perdagangan yang telah terjalin lama dengan China. Ke depannya, penting bagi Uni Eropa untuk mencari solusi yang tidak hanya melindungi industri domestik tetapi juga mendukung perkembangan pasar EV yang semakin berkembang di seluruh dunia.

Negara China Larang Ekspor Bahan Baku Chip Imbas Sanksi Dari AS

Pada 5 Desember 2024, China mengumumkan kebijakan baru yang melarang ekspor bahan baku penting untuk pembuatan chip semikonduktor. Langkah ini merupakan respons terhadap sanksi yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) terhadap industri teknologi China, yang semakin memperburuk ketegangan perdagangan antara kedua negara.

Kebijakan ini diambil setelah AS memperketat sanksi terhadap perusahaan-perusahaan teknologi China, terutama yang berhubungan dengan produksi chip semikonduktor. Sanksi tersebut bertujuan untuk membatasi akses China terhadap teknologi yang dapat digunakan dalam pengembangan senjata dan kecerdasan buatan. Sebagai balasan, China memutuskan untuk membatasi ekspor bahan baku chip yang sangat dibutuhkan dalam industri global, termasuk untuk produksi smartphone dan perangkat lainnya.

Langkah China ini diprediksi akan menambah ketegangan dalam pasar global semikonduktor, yang sudah terganggu oleh pandemi dan krisis rantai pasokan. Beberapa negara besar, termasuk AS, Jepang, dan Korea Selatan, sangat bergantung pada bahan baku yang berasal dari China. Dengan larangan ekspor ini, negara-negara tersebut mungkin akan mengalami keterlambatan dalam produksi dan pengiriman chip, yang bisa memengaruhi berbagai sektor industri, dari elektronik hingga otomotif.

Di sisi lain, meskipun kebijakan ini dapat memperburuk hubungan perdagangan dengan AS dan sekutunya, kebijakan ini juga dapat memperkuat posisi China dalam industri teknologi global. Dengan mengontrol bahan baku chip, China dapat mempercepat pengembangan teknologi domestik dan mengurangi ketergantungan pada impor dari negara-negara Barat. Ini bisa mempercepat upaya China untuk menjadi pemimpin dalam industri semikonduktor global.

Sebagai respons terhadap langkah China ini, beberapa negara, terutama AS dan sekutunya, mulai mencari alternatif sumber bahan baku chip, termasuk melalui peningkatan investasi dalam industri semikonduktor domestik. AS sendiri berencana untuk mengurangi ketergantungan pada China dengan membangun fasilitas produksi chip di dalam negeri. Namun, upaya tersebut membutuhkan waktu dan investasi besar.

Langkah China ini memiliki potensi untuk menciptakan ketegangan lebih lanjut dalam hubungan internasional dan dapat menyebabkan pergeseran besar dalam industri teknologi global. Meskipun China mendapat keuntungan dari mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan baku chip, langkah ini berisiko memicu perang dagang yang lebih intensif dan merugikan bagi ekonomi dunia dalam jangka panjang.

Larangan ekspor bahan baku chip oleh China sebagai respons terhadap sanksi AS memperburuk ketegangan perdagangan internasional, terutama di industri teknologi. Langkah ini tidak hanya memengaruhi pasar semikonduktor global tetapi juga memicu upaya negara-negara besar untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap China dalam rantai pasokan chip.