Rupiah Melemah di Tengah Penguatan Dolar AS, Namun Ada Harapan dari Kebijakan Ekonomi Baru

Pada perdagangan Selasa (18/2/2025), rupiah mengalami pelemahan tipis seiring dengan penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah dibuka pada posisi Rp16.230 per dolar AS, yang berarti melemah sebesar 0,12%. Jika tren pelemahan ini berlanjut hingga sesi penutupan, maka penguatan rupiah selama empat hari berturut-turut akan terhenti.

Pelemahan rupiah sejalan dengan penguatan indeks dolar AS (DXY), yang pagi ini tercatat naik 0,14% menjadi 106,88. Kenaikan indeks dolar menunjukkan adanya peningkatan permintaan terhadap mata uang AS, yang menambah tekanan terhadap rupiah.

Di sisi lain, pelaku pasar kini menantikan hasil dari Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), yang dimulai hari ini. Keputusan terkait kebijakan moneter yang akan diambil BI menjadi faktor penting dalam menentukan arah pergerakan rupiah ke depan. Para investor memperhatikan langkah-langkah BI, terutama terkait upaya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah tantangan global.

Namun, ada dua faktor positif yang bisa mendukung stabilitas rupiah dalam jangka menengah. Pertama, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Mulai 1 Maret 2025, DHE yang berasal dari sektor sumber daya alam (SDA) wajib disimpan dalam sistem keuangan Indonesia sebesar 100% selama 12 bulan. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa dan menjaga kestabilan ekonomi nasional.

Kedua, delapan kebijakan ekonomi yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden Prabowo juga diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025. Dengan adanya kebijakan moneter dan fiskal yang seimbang, diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap rupiah, memberikan optimisme terhadap pasar keuangan Indonesia.

Analisis: Untung Rugi Kemenkeu Langsung di Bawah Koordinasi Presiden

Dalam era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kini langsung berada di bawah koordinasi presiden, menggantikan posisi sebelumnya yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian). Pergantian ini telah di atur melalui Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024 yang mengatur tugas & fungsi pemerintahan dalam Kabinet Merah Putih untuk periode 5 Tahun kedepan.

Melalui kebijakan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan melaporkan langsung kepada Presiden Prabowo terkait urusan keuangan negara. “Kementerian Keuangan sekarang tidak lagi berada di bawah Kemenko Perekonomian, tapi langsung berada di bawah koordinasi presiden,” ungkap Deni Surjantoro, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu.

Perubahan ini juga berdampak pada Kemenko Perekonomian yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto, yang kini hanya mengkoordinasikan delapan kementerian lain, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, kementerian lain yang berada di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian mencakup Kementerian BUMN, Kementerian Investasi/BKPM, Kementerian Pariwisata, dan beberapa instansi lainnya.

Dampak Perubahan Kemenkeu di Bawah Koordinasi Langsung Presiden

Menurut Ronny P. Sasmita, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, perpindahan ini tidak akan memberikan dampak signifikan pada tugas pokok Kemenkeu. “Peran kementerian koordinator sebenarnya bukan sebagai atasan dari kementerian di bawahnya, tetapi lebih untuk mempermudah pengelolaan dan kontrol manajerial lintas bidang,” ungkap Ronny. Ia menegaskan bahwa seluruh menteri dalam kabinet memiliki peran yang setara sebagai pembantu presiden, meskipun beberapa menteri berperan sebagai koordinator.

Ronny juga menjelaskan bahwa struktur kementerian koordinator ini merupakan hal yang unik di Indonesia. Di negara lain, kementerian umumnya langsung bertanggung jawab kepada presiden tanpa adanya lapisan koordinasi tambahan seperti di Indonesia.

Namun demikian, Ronny melihat beberapa manfaat dari perubahan ini. Dengan Kemenkeu langsung berada di bawah presiden, proses pengambilan kebijakan terkait anggaran akan lebih cepat karena tidak lagi melalui rantai koordinasi tambahan.

Perubahan ini diharapkan akan membawa efisiensi yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan negara, serta mempercepat proses pengambilan keputusan terkait kebijakan fiskal di masa mendatang.