Dinamika Kabinet dan Kontrak Besar GE Aerospace, Apa Dampaknya?

Isu mengenai kemungkinan pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dari Kabinet Merah Putih menjadi perhatian publik, terutama bagi pelaku pasar. Kabar ini memicu spekulasi mengenai dampaknya terhadap perekonomian dan kebijakan negara. Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai jika benar terjadi, hal ini dapat memberikan efek negatif karena keduanya adalah tokoh yang memiliki kredibilitas tinggi di mata investor dan dunia usaha. Namun, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, justru melihatnya sebagai sentimen positif, mengingat pendekatan yang diterapkan oleh Sri Mulyani dalam mengelola pajak dinilai kurang selaras dengan pemerintahan mendatang. Bhima juga menyoroti peran Airlangga dalam sektor ketenagakerjaan, yang dianggap belum mampu mengatasi tingginya angka pemutusan hubungan kerja. Ia menekankan pentingnya pengganti kedua menteri tersebut berasal dari kalangan teknokrat yang independen dan memiliki keberanian dalam menerapkan kebijakan progresif seperti pajak karbon dan Global Minimum Tax.

Di sisi lain, GE Aerospace dikabarkan mendapatkan kontrak senilai USD 5 miliar dari Angkatan Udara Amerika Serikat untuk memasok mesin jet tempur F110-GE-129 bagi pesawat F-15 dan F-16. Kontrak ini masuk dalam skema indefinite delivery/indefinite quantity, di mana jumlah pesanan dapat berubah sesuai kebutuhan. Selain itu, GE juga mengumumkan investasi hampir USD 1 miliar dalam sektor manufaktur di AS pada tahun 2025, hampir dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi, memperkuat rantai pasok, serta menambah 5.000 tenaga kerja baru, terutama di bidang manufaktur dan teknik. Perusahaan juga mengalokasikan USD 500 juta untuk memperluas fasilitas produksi mesin CFM LEAP, yang digunakan dalam pesawat berbadan sempit. CEO GE Aerospace, Larry Culp, menegaskan bahwa investasi ini penting dalam menjaga daya saing industri dan memperkuat komunitas tempat mereka beroperasi.

Investor Diminta Siapkan Strategi Adaptif di Tengah Ketidakpastian Global

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat perang tarif, volatilitas pasar keuangan, dan kebijakan moneter yang belum pasti, investor perlu menerapkan strategi investasi yang lebih adaptif. Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada keseimbangan antara konsumsi domestik dan investasi jangka panjang.

Menurutnya, konsumsi dalam negeri masih melemah, terlihat dari kontribusi konsumsi terhadap PDB yang sebelum pandemi berada di kisaran 55-58 persen, namun kini turun menjadi 54 persen. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk menopang daya beli masyarakat, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), kenaikan upah minimum, penyesuaian gaji aparatur sipil negara (ASN), serta pembatalan kenaikan PPN. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, mengingat konsumsi berkontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, investasi tetap menjadi prioritas utama untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sebesar 8 persen guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional di level yang sama. Salah satu kebijakan strategis yang diterapkan adalah pembentukan Danantara untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara, meskipun transparansi dalam implementasinya masih menjadi perhatian.

Ketidakpastian global turut memberikan tekanan pada pasar saham Indonesia yang mengalami penurunan signifikan, sementara pasar obligasi masih menunjukkan ketahanan. Stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor utama dalam memulihkan kepercayaan investor. Sejarah mencatat bahwa pasar saham Indonesia cenderung mengalami pertumbuhan ketika nilai tukar rupiah stabil atau menguat. Selain itu, kebijakan Bank Indonesia yang masih membuka peluang pemangkasan suku bunga turut meningkatkan daya tarik pasar obligasi bagi investor asing.

Sementara itu, dampak langsung pengenaan tarif 25 persen terhadap baja Indonesia oleh AS dinilai terbatas, mengingat ekspor baja hanya mencakup 0,07 persen dari total ekspor nasional. Namun, risiko tidak langsung dari perlambatan perdagangan global tetap menjadi perhatian utama, terutama terkait dengan potensi penurunan permintaan ekspor dan kenaikan harga barang impor.

Lebih lanjut, arah kebijakan moneter The Fed dan BI masih menunjukkan pendekatan yang hati-hati. The Fed diproyeksikan akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin tahun ini, sementara BI tetap fokus menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan BI Rate berada di kisaran 5,25-5,50 persen hingga akhir tahun.

Stabilitas Rupiah dan Likuiditas Longgar Jadi Kunci Pemulihan Pasar Saham

Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Dimas Ardhinugraha, menegaskan bahwa stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) serta pelonggaran likuiditas merupakan faktor utama dalam pemulihan sentimen pasar saham Indonesia. Secara historis, pasar saham domestik cenderung mencatat kinerja positif saat rupiah dalam kondisi stabil atau menguat, ditambah dengan kelonggaran likuiditas yang mendukung pergerakan modal.

Dimas menyampaikan harapannya agar kondisi ini dapat tercapai setelah ketidakpastian terkait kebijakan tarif AS mulai mereda dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri menunjukkan perbaikan. Sejak Januari 2025, keresahan investor semakin meningkat akibat kebijakan tarif AS yang masih berubah-ubah dan informasi yang belum jelas. Bahkan, indeks ketidakpastian kebijakan perdagangan melonjak ke level tertinggi kedua sejak perang tarif tahun 2018, menunjukkan tingginya tekanan di pasar.

Menurut Dimas, apabila pemerintah AS telah memberikan kejelasan mengenai kebijakan tarif, pasar akan lebih mudah mengkaji ulang risiko dan peluang yang ada, sehingga volatilitas dapat berkurang. Dari sisi kebijakan moneter global, Ketua The Fed Jerome Powell mengindikasikan bahwa meskipun inflasi telah turun, kebijakan suku bunga tidak akan terburu-buru diturunkan. Namun, apabila indikator ekonomi melemah, pemangkasan suku bunga yang lebih agresif masih berpeluang terjadi.

Bagi Indonesia, dampak pengenaan tarif resiprokal terhadap perdagangan dengan AS diperkirakan terbatas, mengingat tarif rata-rata kedua negara saat ini berada di kisaran 4 persen. Selain itu, pengenaan tarif 25 persen terhadap baja diperkirakan tidak berdampak signifikan, mengingat ekspor baja Indonesia ke AS pada 2023 hanya senilai 199 juta dolar AS atau sekitar 0,07 persen dari total ekspor Indonesia.

Rupiah Melemah di Tengah Penguatan Dolar AS, Namun Ada Harapan dari Kebijakan Ekonomi Baru

Pada perdagangan Selasa (18/2/2025), rupiah mengalami pelemahan tipis seiring dengan penguatan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah dibuka pada posisi Rp16.230 per dolar AS, yang berarti melemah sebesar 0,12%. Jika tren pelemahan ini berlanjut hingga sesi penutupan, maka penguatan rupiah selama empat hari berturut-turut akan terhenti.

Pelemahan rupiah sejalan dengan penguatan indeks dolar AS (DXY), yang pagi ini tercatat naik 0,14% menjadi 106,88. Kenaikan indeks dolar menunjukkan adanya peningkatan permintaan terhadap mata uang AS, yang menambah tekanan terhadap rupiah.

Di sisi lain, pelaku pasar kini menantikan hasil dari Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), yang dimulai hari ini. Keputusan terkait kebijakan moneter yang akan diambil BI menjadi faktor penting dalam menentukan arah pergerakan rupiah ke depan. Para investor memperhatikan langkah-langkah BI, terutama terkait upaya menjaga stabilitas nilai tukar di tengah tantangan global.

Namun, ada dua faktor positif yang bisa mendukung stabilitas rupiah dalam jangka menengah. Pertama, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Mulai 1 Maret 2025, DHE yang berasal dari sektor sumber daya alam (SDA) wajib disimpan dalam sistem keuangan Indonesia sebesar 100% selama 12 bulan. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa dan menjaga kestabilan ekonomi nasional.

Kedua, delapan kebijakan ekonomi yang baru-baru ini diumumkan oleh Presiden Prabowo juga diharapkan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025. Dengan adanya kebijakan moneter dan fiskal yang seimbang, diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap rupiah, memberikan optimisme terhadap pasar keuangan Indonesia.

Analisis: Untung Rugi Kemenkeu Langsung di Bawah Koordinasi Presiden

Dalam era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kini langsung berada di bawah koordinasi presiden, menggantikan posisi sebelumnya yang berada di bawah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian). Pergantian ini telah di atur melalui Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024 yang mengatur tugas & fungsi pemerintahan dalam Kabinet Merah Putih untuk periode 5 Tahun kedepan.

Melalui kebijakan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan melaporkan langsung kepada Presiden Prabowo terkait urusan keuangan negara. “Kementerian Keuangan sekarang tidak lagi berada di bawah Kemenko Perekonomian, tapi langsung berada di bawah koordinasi presiden,” ungkap Deni Surjantoro, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu.

Perubahan ini juga berdampak pada Kemenko Perekonomian yang dipimpin oleh Airlangga Hartarto, yang kini hanya mengkoordinasikan delapan kementerian lain, seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, kementerian lain yang berada di bawah koordinasi Kemenko Perekonomian mencakup Kementerian BUMN, Kementerian Investasi/BKPM, Kementerian Pariwisata, dan beberapa instansi lainnya.

Dampak Perubahan Kemenkeu di Bawah Koordinasi Langsung Presiden

Menurut Ronny P. Sasmita, Analis Senior dari Indonesia Strategic and Economic Action Institution, perpindahan ini tidak akan memberikan dampak signifikan pada tugas pokok Kemenkeu. “Peran kementerian koordinator sebenarnya bukan sebagai atasan dari kementerian di bawahnya, tetapi lebih untuk mempermudah pengelolaan dan kontrol manajerial lintas bidang,” ungkap Ronny. Ia menegaskan bahwa seluruh menteri dalam kabinet memiliki peran yang setara sebagai pembantu presiden, meskipun beberapa menteri berperan sebagai koordinator.

Ronny juga menjelaskan bahwa struktur kementerian koordinator ini merupakan hal yang unik di Indonesia. Di negara lain, kementerian umumnya langsung bertanggung jawab kepada presiden tanpa adanya lapisan koordinasi tambahan seperti di Indonesia.

Namun demikian, Ronny melihat beberapa manfaat dari perubahan ini. Dengan Kemenkeu langsung berada di bawah presiden, proses pengambilan kebijakan terkait anggaran akan lebih cepat karena tidak lagi melalui rantai koordinasi tambahan.

Perubahan ini diharapkan akan membawa efisiensi yang lebih besar dalam pengelolaan keuangan negara, serta mempercepat proses pengambilan keputusan terkait kebijakan fiskal di masa mendatang.