Gelombang Protes Besar di Serbia: Ribuan Warga Tantang Pemerintahan Vucic

Ratusan ribu warga Serbia turun ke jalan di kota Beograd pada Sabtu (15/3/2025) dalam aksi protes terbesar yang pernah terjadi di negara tersebut. Demonstrasi ini merupakan puncak dari gerakan yang telah berlangsung selama berbulan-bulan menentang pemerintahan Presiden Aleksandar Vucic. Di tengah hujan yang sesekali turun, massa yang membawa bendera dan spanduk memenuhi pusat kota, menyebabkan kemacetan besar dan penutupan total transportasi umum. Polisi Serbia mencatat jumlah pengunjuk rasa mencapai 107.000 orang pada titik puncaknya, sementara media independen mengklaim jumlahnya jauh lebih besar.

Aksi protes ini berawal dari kecelakaan tragis pada November lalu di mana atap beton sebuah stasiun kereta di utara Serbia runtuh, menewaskan 15 orang. Kejadian itu memicu kemarahan publik terhadap dugaan korupsi dan kelalaian pemerintah dalam penerapan standar keselamatan konstruksi. Warga menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas insiden tersebut. Demonstrasi pada Sabtu kemarin diberi nama “15 untuk 15,” sebagai penghormatan bagi korban kecelakaan. Pada malam hari, massa terdiam selama 15 menit untuk mengenang mereka yang telah meninggal.

Protes ini dipimpin oleh mahasiswa yang telah menjadi kekuatan utama gerakan antikorupsi. Namun, karena meningkatnya ketegangan dan bentrokan sporadis dengan aparat kepolisian, para pemimpin mahasiswa akhirnya menyerukan pembubaran aksi untuk menghindari eskalasi lebih lanjut. Sementara sebagian besar peserta membubarkan diri, ribuan lainnya tetap bertahan di jalan, meneriakkan slogan dan memainkan suara peluit serta drum sebagai bentuk perlawanan.

Presiden Vucic sebelumnya telah memperingatkan adanya kemungkinan kerusuhan dan mengancam akan mengambil tindakan tegas terhadap para demonstran. Menteri Dalam Negeri Ivica Dacic mengungkapkan bahwa 13 orang telah ditahan, termasuk enam aktivis oposisi yang diduga merencanakan kudeta. Meskipun aksi ini menjadi tekanan besar bagi pemerintahan Vucic, para pengunjuk rasa meyakini bahwa perjuangan mereka untuk demokrasi masih jauh dari selesai.

Korea Utara Murka, Sebut Latihan Militer AS-Korsel Picu Ketegangan

Korea Utara kembali melontarkan kecaman terhadap latihan militer gabungan berskala besar yang digelar oleh Amerika Serikat dan Korea Selatan. Menurut laporan Korean Central News Agency (KCNA) pada Senin (10/3), Pyongyang menilai latihan tersebut sebagai tindakan provokatif yang semakin meningkatkan ketegangan di Semenanjung Korea. Meskipun Korea Utara telah berulang kali memberikan peringatan, Washington dan Seoul tetap melanjutkan latihan yang dianggap mengancam stabilitas kawasan.

Dalam pernyataan yang dikeluarkan oleh Departemen Pers dan Informasi Kementerian Luar Negeri Korea Utara, konfrontasi antara Pyongyang dan Washington disebut semakin mendekati titik kritis. Pemerintah Korea Utara menuduh latihan tersebut sebagai bentuk perang terselubung yang secara langsung menargetkan Republik Rakyat Demokratik Korea (RRDK). Pyongyang memperingatkan bahwa peningkatan aktivitas militer semacam ini hanya akan memperburuk hubungan diplomatik dan meningkatkan risiko konflik.

Sementara itu, kantor berita Yonhap melaporkan bahwa latihan gabungan tahunan yang diberi nama Freedom Shield telah resmi dimulai pada Senin. Latihan ini direncanakan berlangsung selama 11 hari dan melibatkan simulasi berbasis komputer serta latihan di lapangan untuk meningkatkan koordinasi operasional antara pasukan AS dan Korea Selatan.

Meski Korea Utara menganggap latihan ini sebagai ancaman, AS dan Korea Selatan menegaskan bahwa kegiatan tersebut bertujuan untuk memperkuat pertahanan dan memastikan kesiapan menghadapi ancaman dari Pyongyang. Namun, dengan meningkatnya ketegangan, situasi di Semenanjung Korea tetap menjadi perhatian dunia internasional.