Anggaran Ketahanan Pangan 2025 Naik Jadi Rp155,5 Triliun, Sri Mulyani Pastikan Pengelolaan Profesional

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran ketahanan pangan sebesar Rp155,5 triliun pada tahun 2025. Angka ini lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp114,3 triliun. Anggaran ini dialokasikan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan perikanan, memperkuat rantai pasok pangan, menjamin ketersediaan pangan bagi masyarakat, serta meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan.

Dari sisi produksi, dana tersebut akan digunakan untuk subsidi pupuk sebanyak 9,5 juta ton, ekstensifikasi sawah 225 ribu hektare, intensifikasi 80 ribu hektare, serta pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan) 77,4 ribu unit. Sementara dalam aspek distribusi dan cadangan pangan, anggaran difokuskan pada pembangunan jalan usaha tani sepanjang 102 kilometer, peningkatan sarana dan prasarana di 63 pelabuhan perikanan, serta penguatan koperasi Desa Merah Putih dan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP).

Di sisi konsumsi, dana tersebut akan mendukung berbagai program seperti bantuan pangan, bantuan sembako, Gelar Pasar Murah (GPM), serta Stabilitas Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Pemerintah juga telah mengalokasikan Rp16,6 triliun bagi Perum Bulog untuk membeli beras dan gabah dari petani dengan harga yang ditetapkan, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19 Tahun 2025. Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh pengelolaan anggaran ini harus dilakukan secara profesional dan bebas dari praktik korupsi agar tujuan ketahanan pangan nasional dapat tercapai secara optimal.

Swasembada Pangan Bukan Tujuan Akhir, Kemandirian yang Harus Dicapai

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung, Prof. Dr. Ir. Bustanul Arifin, M.Sc., mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya telah mencapai keseimbangan antara suplai dan permintaan pangan. Namun, hal ini tidak cukup jika masyarakat masih kesulitan mengakses pangan dengan harga yang terjangkau. Swasembada harus dipandang sebagai alat untuk mencapai kemandirian, bukan tujuan akhir. Ia mencontohkan Singapura, yang meskipun tidak swasembada, mampu memastikan ketahanan pangan melalui diversifikasi sumber dan distribusi yang efisien. Jika distribusi tidak berjalan optimal, maka produksi yang melimpah pun tetap membuat harga pangan tinggi dan sulit dijangkau masyarakat.

Saat ini, sektor pertanian Indonesia mengalami stagnasi, dengan pertumbuhan yang jauh lebih rendah dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Berbagai faktor seperti alih fungsi lahan, minimnya regenerasi petani, serta dampak perubahan iklim menjadi tantangan yang harus segera diatasi. Ketua Kelompok Substansi Perencanaan Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Siti Haryati, SP., M.Sc., menyoroti minimnya regenerasi petani sebagai tantangan utama dalam mencapai kemandirian pangan. Generasi muda enggan terjun ke sektor ini karena dianggap kurang menguntungkan, sehingga perlu insentif dan pelatihan berbasis teknologi pertanian modern agar lebih menarik.

Di sisi lain, ketersediaan pupuk dengan harga terjangkau juga menjadi faktor penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian. Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Gusrizal, memastikan bahwa produksi pupuk nasional mencukupi kebutuhan, dengan upaya pemerataan distribusi agar petani mudah mengaksesnya. Pupuk memiliki kontribusi besar terhadap hasil panen, sehingga ketersediaannya harus selalu dijaga.

Mewujudkan swasembada pangan juga membutuhkan keterlibatan berbagai pihak di luar sektor pertanian. Polri telah berinisiatif memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami tanaman pangan. Langkah ini dapat diperluas dengan melibatkan sektor swasta dan masyarakat, termasuk pengembangan pertanian perkotaan dan teknologi pertanian modern. Sistem distribusi yang lebih efisien juga harus diperbaiki agar harga pangan tetap stabil dan terjangkau. Dengan kebijakan yang berpihak pada petani, inovasi teknologi, serta distribusi yang baik, Indonesia tidak hanya mampu mencapai swasembada, tetapi juga kemandirian pangan yang berkelanjutan.