Macron Siap Gelar Pertemuan Baru Soal Ukraina, Usulkan Dukungan Terbatas

Presiden Prancis Emmanuel Macron berencana menjadi tuan rumah pertemuan lanjutan terkait konflik Ukraina, menyusul langkah Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang dikabarkan tengah merancang kesepakatan untuk mengakhiri perang.

Dalam wawancara dengan media regional Prancis, Macron juga mendorong Presiden AS Donald Trump untuk membuka kembali dialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang menurutnya bisa lebih bermanfaat dalam mencari solusi damai.

Menariknya, Macron mengungkapkan kesiapan untuk mengirim pasukan ke Ukraina, meskipun dengan batasan tertentu. “Kami mempertimbangkan opsi pengiriman pasukan dalam skala terbatas, tetapi tidak di zona konflik langsung. Ini bertujuan untuk memberikan dukungan moral bagi Ukraina serta memperkuat solidaritas,” ujarnya, seperti dikutip dari AFP, Rabu (19/2/2025). Lebih lanjut, Macron menyebut bahwa Prancis tengah membahas langkah ini bersama Inggris.

Pernyataan Macron ini muncul setelah keputusan mengejutkan dari Trump yang kembali membuka jalur diplomasi dengan Rusia dalam upaya mencari penyelesaian atas konflik yang telah berlangsung hampir tiga tahun sejak invasi Rusia ke Ukraina. Macron, yang sebelumnya telah beberapa kali berdialog dengan Putin, menyatakan kesiapannya untuk kembali berbicara dengan pemimpin Rusia itu dalam rangka perundingan damai.

Namun, pria berusia 47 tahun tersebut menegaskan bahwa dukungan AS tetap menjadi faktor kunci bagi keamanan Ukraina. Ia juga mengusulkan pembentukan misi penjaga perdamaian di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk ditempatkan di garis depan sebagai bagian dari solusi diplomatik yang sedang dibahas.

Sementara itu, dalam pertemuan yang berlangsung di Arab Saudi pada Selasa (18/2/2025), delegasi AS dan Rusia sepakat membentuk tim khusus untuk merancang langkah-langkah penghentian perang. Di sisi lain, sejumlah negara Eropa dan non-Eropa juga bersiap untuk mengadakan pertemuan lebih lanjut guna memperkuat dukungan bagi Ukraina.

Zelenskyy Tunda Kunjungan ke Arab Saudi, Jadwal Ulang pada 10 Maret

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, mengumumkan pembatalan kunjungannya ke Arab Saudi yang semula direncanakan pada Rabu. Keputusan ini diambil di tengah pertemuan pejabat tinggi Rusia dan Amerika Serikat yang berlangsung di Riyadh, ibu kota Arab Saudi.

Menurut laporan media yang mengutip juru bicara presiden, Serhiy Nikiforov, Zelenskyy sebelumnya dijadwalkan tiba di Arab Saudi pada 19 Februari sebagai bagian dari agenda diplomatiknya. Namun, dalam pernyataannya, Zelenskyy menegaskan bahwa dirinya tidak ingin ada “kebetulan” yang terjadi di tengah situasi politik yang kompleks saat ini.

“Saya tidak tahu siapa yang akan tetap berada di sana dan siapa yang akan pergi. Saya juga tidak peduli… Saya tidak ingin ada kebetulan, jadi saya memutuskan untuk tidak berangkat ke Arab Saudi,” ungkapnya.

Meski demikian, Zelenskyy telah berkomunikasi dengan pemimpin Arab Saudi dan menyepakati bahwa kunjungan tersebut akan dijadwalkan ulang pada 10 Maret mendatang.

Kunjungan ke Arab Saudi diyakini memiliki kepentingan strategis bagi Ukraina, terutama dalam memperkuat dukungan internasional di tengah konflik yang masih berlangsung dengan Rusia. Arab Saudi, yang memiliki pengaruh besar dalam geopolitik global, dapat berperan penting dalam upaya mediasi serta memberikan bantuan ekonomi dan diplomatik bagi Ukraina.

Selain itu, Zelenskyy juga mengungkapkan harapannya untuk bertemu dengan perwakilan Amerika Serikat di Kiev dalam waktu dekat. Hal ini menunjukkan bahwa Ukraina masih aktif menjalin komunikasi dengan sekutu utamanya dalam menghadapi tantangan yang ada.

Arab Saudi Sambut Baik Pertemuan Puncak Putin-Trump, Dorong Perdamaian Ukraina

Arab Saudi menyambut baik komunikasi langsung antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang berlangsung melalui panggilan telepon selama hampir 90 menit pada Rabu lalu. Percakapan ini menjadi interaksi pertama yang diketahui antara kedua pemimpin sejak konflik Ukraina meningkat pada Februari 2022.

Setelah panggilan tersebut, Trump mengumumkan bahwa pembicaraan lebih lanjut akan diadakan di Arab Saudi. Riyadh pun menyatakan kesiapannya untuk menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi tersebut dan menegaskan komitmennya dalam mendukung upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina sejak awal konflik.

Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, telah berulang kali menjalin komunikasi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Putin untuk mendorong dialog damai. Pada Desember 2023, ia juga mengunjungi Rusia untuk bertemu Putin, membahas isu-isu strategis seperti konflik Ukraina, harga minyak, kebijakan OPEC+, serta ketegangan di Gaza.

Sementara itu, Trump mengumumkan bahwa pejabat Amerika dan Rusia akan bertemu di sela-sela konferensi di Munich pada Jumat, dengan Ukraina juga diundang. Namun, hingga kini belum ada konfirmasi resmi mengenai pertemuan tersebut dari penyelenggara konferensi atau media.

Di sisi lain, delegasi Amerika dan Ukraina mengadakan diskusi di sela-sela acara tersebut. Zelensky menegaskan kesiapannya untuk segera mencapai perdamaian yang konkret dan berkelanjutan, tetapi menegaskan bahwa dirinya hanya bersedia bertemu langsung dengan Putin jika ada rencana yang disepakati bersama oleh pemimpin AS dan Eropa.

Wakil Presiden AS, J.D. Vance, juga menegaskan pentingnya memulai negosiasi langsung antara Ukraina dan Rusia. “Kita harus duduk bersama dan mulai berdialog untuk menemukan solusi guna mengakhiri konflik ini,” tegasnya.

Menlu Turki Dan Arab Saudi Bahas Perkembangan Terbaru Di Suriah

Pada 2 Desember 2024, Menteri Luar Negeri (Menlu) Turki, Hakan Fidan, dan Menlu Arab Saudi, Faisal bin Farhan Al Saud, bertemu untuk membahas perkembangan terbaru terkait krisis di Suriah. Pertemuan ini berlangsung di Riyadh dan menjadi salah satu upaya diplomatik kedua negara untuk mencari solusi atas konflik yang telah berlangsung lebih dari satu dekade. Sebagai negara-negara dengan pengaruh besar di Timur Tengah, Turki dan Arab Saudi memiliki peran penting dalam meredakan ketegangan di Suriah dan mendukung proses perdamaian yang inklusif.

Dalam pertemuan tersebut, kedua Menlu fokus pada isu-isu utama yang berkaitan dengan keamanan di Suriah, termasuk keberadaan kelompok-kelompok teroris yang masih aktif di beberapa wilayah, serta dampak dari intervensi asing. Selain itu, mereka juga membahas upaya untuk mendukung pemulihan negara tersebut setelah bertahun-tahun dilanda perang saudara. Salah satu topik penting yang dibicarakan adalah bagaimana memastikan bantuan kemanusiaan dapat sampai ke wilayah-wilayah yang membutuhkan, serta mempercepat proses rekonstruksi Suriah yang hancur akibat perang.

Turki dan Arab Saudi telah lama terlibat dalam krisis Suriah, dengan Turki mendukung kelompok oposisi yang berusaha menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad, sementara Arab Saudi juga memberikan dukungan serupa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kedua negara mulai mengubah pendekatannya dengan mencari solusi diplomatik yang lebih inklusif. Pertemuan ini mencerminkan upaya kedua negara untuk bekerja sama dalam mendamaikan perbedaan mereka dan berkoordinasi dalam menghadapai tantangan yang ada di Suriah, termasuk membangun hubungan yang lebih kuat dengan rezim Assad.

Selain membahas Suriah, kedua Menlu juga membicarakan potensi kerja sama lebih lanjut antara Turki dan Arab Saudi dalam berbagai sektor, seperti ekonomi dan energi. Hubungan bilateral yang lebih erat diharapkan dapat membantu stabilitas kawasan Timur Tengah yang semakin kompleks. Dalam konteks ini, kerjasama dalam mengatasi dampak dari konflik Suriah, serta pembentukan zona aman dan rekonstruksi wilayah yang terdampak perang, menjadi prioritas utama. Kedua negara juga sepakat untuk meningkatkan peran mereka dalam organisasi internasional, seperti PBB, guna mendukung solusi damai di Suriah.

Meskipun ada kemajuan dalam dialog ini, tantangan utama dalam mencapainya adalah perbedaan kepentingan antara pihak-pihak yang terlibat, baik di dalam Suriah maupun negara-negara besar seperti Rusia dan Amerika Serikat. Selain itu, adanya perbedaan strategi antara Turki dan Arab Saudi terkait pendekatan terhadap kelompok-kelompok oposisi dan aliansi dengan berbagai aktor internasional membuat situasi di Suriah masih sangat rumit. Meski demikian, upaya diplomatik yang dilakukan oleh Turki dan Arab Saudi menjadi langkah positif dalam mencari jalan keluar dari krisis yang telah berlangsung lama ini.

Pertemuan antara Menlu Turki dan Arab Saudi ini menjadi indikasi bahwa diplomasi tetap menjadi salah satu kunci utama dalam penyelesaian krisis Suriah. Meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi, kedua negara ini berkomitmen untuk terus bekerja sama dalam menciptakan stabilitas dan perdamaian di kawasan Timur Tengah. Dengan upaya bersama, harapan untuk menemukan solusi damai bagi Suriah semakin terbuka, meskipun prosesnya tidak akan mudah.

Negara AS, Qatar Dan Arab Saudi Bahas Konflik Palestina Usai Gugurnya Sinwar

Pada tanggal 20 Oktober 2024, pembicaraan intensif antara Amerika Serikat, Qatar, dan Arab Saudi dilaksanakan untuk membahas situasi terkini di Palestina setelah gugurnya pemimpin Hamas, Yahya Sinwar. Kejadian ini memicu kekhawatiran akan meningkatnya ketegangan di wilayah tersebut, sehingga ketiga negara berupaya mencari solusi diplomatik untuk meredakan konflik.

Pertemuan ini berlangsung di Doha, Qatar, dan dihadiri oleh pejabat tinggi dari ketiga negara. Mereka membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk mencegah eskalasi kekerasan yang lebih lanjut di Gaza dan sekitarnya. Menteri Luar Negeri AS menekankan pentingnya dialog antara semua pihak yang terlibat untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan. “Kami mendesak semua pihak untuk menahan diri dan mencari penyelesaian yang damai,” ujarnya.

Sementara itu, Qatar dan Arab Saudi juga menggarisbawahi komitmen mereka terhadap dukungan bagi rakyat Palestina. Mereka menekankan perlunya meningkatkan bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi infrastruktur yang hancur akibat konflik. “Kami tidak bisa membiarkan situasi ini berlanjut. Rakyat Palestina berhak mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” kata pejabat senior dari Qatar.

Gugurnya Sinwar dianggap sebagai momen penting yang bisa mengubah dinamika kekuatan di Palestina. Banyak analis berpendapat bahwa kekosongan kepemimpinan dapat menyebabkan perselisihan internal di dalam Hamas. Hal ini juga dikhawatirkan dapat memicu tindakan balasan dari kelompok militan lainnya, sehingga menambah kompleksitas situasi.

Ketiga negara sepakat untuk melanjutkan dialog dan koordinasi di tingkat internasional untuk mendukung proses perdamaian. Mereka juga merencanakan pertemuan lanjutan untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil efektif dalam meredakan ketegangan dan mendukung rakyat Palestina.

Dengan situasi yang semakin memanas, kerjasama internasional menjadi semakin penting dalam menghadapi tantangan yang ada. Negara-negara tersebut berharap bahwa melalui diplomasi yang kuat, stabilitas dapat kembali ke wilayah yang telah lama dilanda konflik ini.