Serangan Rudal di Sumy, Ukraina Berduka di Tengah Upaya Perdamaian

Dua rudal balistik yang diluncurkan Rusia menghantam kota Sumy, Ukraina utara, pada Minggu, 13 April 2025. Serangan tersebut terjadi di saat masyarakat tengah bersiap mengikuti perayaan Hari Minggu Palma, menewaskan sedikitnya 34 warga sipil dan melukai lebih dari 100 orang lainnya. Rudal pertama menghantam pusat konferensi Universitas Negeri Sumy yang tengah ramai oleh mahasiswa, sementara rudal kedua mengenai sebuah bus troli di Jalan Poskrovska yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi pertama. Suasana mencekam terekam jelas di lokasi, dengan jasad bergelimpangan, kendaraan terbakar, dan bangunan runtuh.

Otoritas setempat langsung mengerahkan tim medis, pemadam kebakaran, dan polisi ke lokasi kejadian untuk melakukan evakuasi. Serangan ini disebut sebagai salah satu insiden paling mematikan di Ukraina sepanjang tahun 2025. Presiden Volodymyr Zelenskyy mengecam keras aksi tersebut, menyebutnya sebagai tindakan teror brutal dan menuntut langkah tegas dari komunitas internasional, khususnya Amerika Serikat. Zelensky juga menyerukan pengiriman sistem pertahanan udara Patriot serta dukungan militer lainnya guna melindungi wilayah udara Ukraina dari serangan lanjutan.

Sementara itu, Presiden AS Donald Trump menyebut serangan ini sebagai tindakan mengerikan dan menyayangkan kegagalan Rusia dalam menahan agresi. Namun, hingga kini belum ada respons konkret dari pemerintah AS. Dukungan terhadap Ukraina juga datang dari pemimpin Eropa, seperti Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang sama-sama menyerukan gencatan senjata tanpa syarat. Wali kota Sumy telah menetapkan masa berkabung nasional selama tiga hari untuk mengenang para korban.

Putin Setuju Gencatan Senjata, tapi Inginkan Solusi Jangka Panjang

Presiden Rusia Vladimir Putin mengonfirmasi bahwa Moskow menyetujui usulan gencatan senjata di Ukraina yang diajukan oleh Amerika Serikat. Namun, ia menekankan bahwa penghentian permusuhan ini harus disertai dengan penyelesaian mendalam atas akar permasalahan konflik. Dalam konferensi pers bersama Presiden Belarusia Alexander Lukashenko di Moskow pada Kamis, Putin menyatakan bahwa negaranya mendukung pendekatan damai untuk mengakhiri perang, tetapi langkah tersebut harus membawa perdamaian yang langgeng.

Putin juga mengapresiasi perhatian yang diberikan Presiden AS Donald Trump terhadap upaya penyelesaian konflik. Meski demikian, ia menegaskan bahwa Rusia akan mengambil keputusan lebih lanjut berdasarkan perkembangan situasi di medan perang. Menurutnya, gencatan senjata adalah langkah positif, tetapi masih banyak hal yang harus dibahas dengan mitra Amerika. Ia bahkan menyebut kemungkinan menghubungi Trump untuk membicarakan lebih lanjut mengenai mekanisme penghentian perang ini.

Putin mengingatkan bahwa pemantauan gencatan senjata akan menjadi tantangan besar mengingat panjangnya garis depan antara Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, ia menyebut bahwa kondisi di wilayah perbatasan Kursk—tempat Ukraina sebelumnya melancarkan serangan—saat ini sudah berada di bawah kendali penuh militer Rusia. Dengan demikian, menurutnya, Ukraina memiliki kepentingan besar untuk menerima gencatan senjata 30 hari yang telah disepakati dalam perundingan di Jeddah, Arab Saudi.

Ukraina sebelumnya menyatakan dukungannya terhadap gencatan senjata setelah pembicaraan yang dihadiri oleh delegasi AS yang dipimpin Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz. Meski pernyataan bersama yang dikeluarkan pascapertemuan tidak mencantumkan jaminan keamanan dari AS jika Rusia melanggar kesepakatan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memastikan bahwa hal tersebut tetap menjadi bagian dari diskusi lebih lanjut.