Efisiensi Anggaran 2025: Dampak pada BUMN Karya, Serapan Tenaga Kerja, dan Inflasi

Pemerintah tengah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran di kementerian dan lembaga (K/L) sebagai bagian dari strategi penghematan dalam APBN 2025. Namun, langkah ini dinilai berpotensi mengurangi kontribusi BUMN karya, terutama dalam serapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi.

Pengamat BUMN dari Universitas Indonesia, Toto Pranoto, menjelaskan bahwa pemangkasan anggaran akan berdampak langsung pada sektor infrastruktur, yang selama ini menjadi salah satu penyerap tenaga kerja terbesar serta membantu menekan biaya distribusi, sehingga berperan dalam pengendalian inflasi.

“Tidak bisa dipungkiri, jika proyek-proyek pembangunan berkurang, industri pendukungnya juga terdampak. Dampaknya bisa berupa PHK massal dan berkurangnya daya beli masyarakat,” ujar Toto di Jakarta, Senin (17/02/2025).

Ia juga menyoroti bahwa pengurangan anggaran infrastruktur berpotensi memicu kenaikan inflasi, terutama karena menurunnya pemeliharaan jalan yang selama ini ditangani oleh BUMN karya. Hal ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi karena masyarakat yang bekerja di sektor infrastruktur mengalami penurunan daya beli.

Menurut Toto, sekitar 80 persen pendapatan BUMN karya bergantung pada APBN, sehingga pengurangan belanja pemerintah otomatis menghambat kinerja perusahaan-perusahaan tersebut.

Hal senada disampaikan oleh pengamat infrastruktur dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, yang menyebut bahwa kebijakan efisiensi ini akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja di berbagai bidang, mulai dari desain, perencanaan, hingga konstruksi.

“Pemangkasan anggaran membuat proyek infrastruktur terhambat, sehingga pasar tenaga kerja di sektor ini menyusut,” tuturnya.

Sebagai solusi, Yayat menyarankan pemerintah untuk mengantisipasi dampak kebijakan ini dengan memberikan skema khusus bagi BUMN karya, agar tetap bisa berkontribusi tanpa bergantung sepenuhnya pada dana pemerintah.

Sementara itu, Toto menilai bahwa BUMN karya harus mulai melakukan diversifikasi pasar, sehingga tidak lagi terlalu bergantung pada anggaran negara.

Kebijakan efisiensi ini merupakan bagian dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025, yang menargetkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun. Dari jumlah tersebut, Rp256,1 triliun dialokasikan untuk pemangkasan belanja kementerian/lembaga (K/L).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah menerbitkan surat S-37/MK.02/2025 yang merinci 16 aspek belanja yang harus mengalami pemangkasan. Masing-masing K/L diwajibkan untuk menyesuaikan anggarannya sesuai dengan arahan tersebut dan menyerahkan revisi anggaran ke DPR paling lambat 14 Februari 2025 untuk mendapatkan persetujuan sebelum akhirnya diterapkan.

Dengan adanya kebijakan ini, tantangan terbesar adalah memastikan stabilitas ekonomi tetap terjaga tanpa mengorbankan sektor strategis seperti infrastruktur dan tenaga kerja.

Langkah Berani Prabowo: Pangkas APBN Rp306 Triliun, Efisiensi atau Ancaman Ekonomi?

Presiden Prabowo Subianto mengambil kebijakan drastis dalam pengelolaan anggaran negara dengan melakukan penghematan besar-besaran pada APBN 2025. Lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, pemerintah menetapkan efisiensi belanja negara dan daerah hingga mencapai Rp306,69 triliun. Kebijakan ini dilakukan guna mendukung program-program prioritas, termasuk makan bergizi gratis, serta memenuhi kewajiban pembayaran utang jatuh tempo yang diwarisi dari pemerintahan sebelumnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan mengarahkan anggaran agar lebih efisien dan memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Selain untuk mendanai program sosial, pemerintah juga harus menghadapi beban utang jatuh tempo sebesar Rp800,33 triliun pada 2025, dengan bunga utang mencapai Rp552,9 triliun. Secara total, pemerintahan Prabowo harus melunasi lebih dari Rp1.353 triliun utang pada tahun pertamanya.

Namun, kebijakan pemangkasan anggaran ini menuai kritik, terutama karena dilakukan secara mendadak dan tidak transparan. Sejumlah kementerian, termasuk Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mengeluhkan pemotongan anggaran yang tiba-tiba, seperti hilangnya Rp81 triliun tanpa kejelasan mekanisme pengurangannya. Bahkan, muncul kekhawatiran bahwa gaji ke-13 dan THR untuk PNS akan dipangkas, meskipun Sri Mulyani telah membantah isu tersebut.

Ekonom Muhammad Andri Perdana menilai bahwa kewenangan Kementerian Keuangan yang begitu besar dalam mengatur anggaran tanpa melalui persetujuan DPR dapat mencederai prinsip pemisahan kekuasaan (Trias Politika). Sementara itu, ekonom dari Next Policy, Shofie Azzahrah, memperingatkan bahwa pemangkasan anggaran yang tidak terarah dapat berdampak luas pada kesejahteraan PNS, operasional kementerian, dan bahkan menciptakan gelombang PHK tenaga honorer.

Selain itu, penghematan ini juga berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan belanja pemerintah sebagai salah satu motor utama perekonomian, pemangkasan anggaran yang agresif bisa menekan daya beli masyarakat, melemahkan sektor usaha, dan meningkatkan angka pengangguran. Jika tidak dilakukan dengan cermat, dampaknya bisa menjalar ke sektor ritel, UMKM, manufaktur, hingga menurunkan kepercayaan investor terhadap Indonesia.

Salah satu langkah efisiensi yang dilakukan adalah pemotongan anggaran perjalanan dinas. Namun, Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengingatkan bahwa kebijakan ini bisa memukul sektor perhotelan, transportasi, dan MICE (Meeting, Incentives, Conventions, and Exhibitions), yang selama ini bergantung pada aktivitas perjalanan dinas pemerintah. Jika dilakukan secara ekstrem, bisa terjadi gelombang PHK di industri perhotelan dan pariwisata.

Para ekonom menyarankan agar efisiensi dilakukan secara selektif tanpa mengorbankan sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Nailul Huda juga menyoroti keberadaan wakil menteri yang dinilai tidak esensial dan dapat dihapus sebagai bagian dari penghematan. Ia mengingatkan bahwa jika pemangkasan dilakukan secara serampangan, ambisi Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen bisa berakhir dengan stagnasi di bawah 5 persen.