Putin Setuju Gencatan Senjata, tapi Inginkan Solusi Jangka Panjang

Presiden Rusia Vladimir Putin mengonfirmasi bahwa Moskow menyetujui usulan gencatan senjata di Ukraina yang diajukan oleh Amerika Serikat. Namun, ia menekankan bahwa penghentian permusuhan ini harus disertai dengan penyelesaian mendalam atas akar permasalahan konflik. Dalam konferensi pers bersama Presiden Belarusia Alexander Lukashenko di Moskow pada Kamis, Putin menyatakan bahwa negaranya mendukung pendekatan damai untuk mengakhiri perang, tetapi langkah tersebut harus membawa perdamaian yang langgeng.

Putin juga mengapresiasi perhatian yang diberikan Presiden AS Donald Trump terhadap upaya penyelesaian konflik. Meski demikian, ia menegaskan bahwa Rusia akan mengambil keputusan lebih lanjut berdasarkan perkembangan situasi di medan perang. Menurutnya, gencatan senjata adalah langkah positif, tetapi masih banyak hal yang harus dibahas dengan mitra Amerika. Ia bahkan menyebut kemungkinan menghubungi Trump untuk membicarakan lebih lanjut mengenai mekanisme penghentian perang ini.

Putin mengingatkan bahwa pemantauan gencatan senjata akan menjadi tantangan besar mengingat panjangnya garis depan antara Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, ia menyebut bahwa kondisi di wilayah perbatasan Kursk—tempat Ukraina sebelumnya melancarkan serangan—saat ini sudah berada di bawah kendali penuh militer Rusia. Dengan demikian, menurutnya, Ukraina memiliki kepentingan besar untuk menerima gencatan senjata 30 hari yang telah disepakati dalam perundingan di Jeddah, Arab Saudi.

Ukraina sebelumnya menyatakan dukungannya terhadap gencatan senjata setelah pembicaraan yang dihadiri oleh delegasi AS yang dipimpin Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz. Meski pernyataan bersama yang dikeluarkan pascapertemuan tidak mencantumkan jaminan keamanan dari AS jika Rusia melanggar kesepakatan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memastikan bahwa hal tersebut tetap menjadi bagian dari diskusi lebih lanjut.

AS Kirim 142 Migran ke Penjara Guantanamo, Dituduh Ancam Keamanan Nasional

Pemerintah Amerika Serikat telah memindahkan lebih dari 140 migran ke penjara berkeamanan tinggi di Teluk Guantanamo, Kuba—fasilitas yang biasanya digunakan untuk menahan teroris. Hingga Rabu (19/2), tercatat sebanyak 142 migran telah tiba di pangkalan militer tersebut melalui 13 penerbangan terpisah.

Hingga kini, pihak berwenang belum memberikan penjelasan mengenai kriteria pemilihan para migran yang dikirim ke sana. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) juga belum mengungkap identitas para tahanan yang dipindahkan.

Langkah ini dilakukan saat DHS dan Kementerian Pertahanan AS berupaya membangun kamp penampungan bagi para migran ilegal di area Guantanamo. Keberadaan kamp-kamp tersebut memicu pertanyaan publik mengenai siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana nasib para migran di sana.

Tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya ini melibatkan sejumlah lembaga federal, termasuk Imigrasi dan Penegakan Bea Cukai (ICE) serta Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP).

“Selain menahan anggota geng kekerasan dan migran ilegal yang dianggap berisiko tinggi, Guantanamo juga digunakan untuk menahan migran yang telah menerima perintah deportasi,” ujar seorang pejabat senior DHS kepada CNN.

Pejabat tersebut menegaskan bahwa para migran yang ditahan telah melanggar hukum karena memasuki wilayah AS secara ilegal. Mereka yang dikategorikan berisiko tinggi akan ditempatkan di penjara berkeamanan maksimum, sedangkan yang telah menerima keputusan deportasi akan dipindahkan ke pusat operasi migran di Guantanamo.

Hingga saat ini, seluruh migran yang ditahan adalah laki-laki, termasuk mereka yang diduga anggota geng kriminal seperti Tren de Aragua serta pelaku pelanggaran hukum imigrasi.

Jet Latih Militer Taiwan Jatuh Akibat Kegagalan Mesin Ganda, Pilot Selamat

Sebuah jet latih militer Brave Eagle buatan Taiwan mengalami kecelakaan pada Sabtu (15/2) akibat kegagalan mesin ganda. Insiden terjadi setelah pesawat lepas landas dari Pangkalan Udara Chih Hang di Taitung Selatan.

Pilot, Mayor Lin, berhasil keluar menggunakan kursi pelontar dan segera dievakuasi ke rumah sakit. Berdasarkan laporan Angkatan Udara Taiwan, kondisinya stabil tanpa cedera.

Pihak militer mengonfirmasi bahwa pesawat mengalami kegagalan pada kedua mesinnya. Sebagai tindak lanjut, satuan tugas khusus akan dibentuk untuk menyelidiki penyebab insiden ini guna meningkatkan keselamatan latihan penerbangan.

Taiwan terus mengembangkan industri pertahanannya, termasuk produksi pesawat tempur secara lokal. Namun, negara ini tetap bergantung pada bantuan persenjataan dari Amerika Serikat guna menghadapi ancaman dari China, yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan kerap menunjukkan agresi militer di sekitar pulau itu.

Brave Eagle sendiri merupakan hasil produksi Aerospace Industrial Development Corporation (AIDC) Taiwan dan telah menjalani uji terbang sejak 2020. Mayor Lin, yang menerbangkan pesawat tersebut, memiliki pengalaman terbang selama 183 jam sebelum kecelakaan terjadi.

Sebelumnya, pada September lalu, Taiwan juga sempat menghentikan sementara operasional armada jet tempur Mirage 2000 untuk pemeriksaan keamanan setelah salah satu unit jatuh ke laut. Jet ini dibeli dari Prancis pada 1992, dan masih menjadi bagian penting dari armada pertahanan udara Taiwan, bersama F-16 buatan AS dan Indigenous Defence Fighters yang dikembangkan secara lokal.

Dalam beberapa tahun terakhir, tekanan militer dari China terus meningkat. Selama 24 jam terakhir sebelum insiden ini, Kementerian Pertahanan Taiwan mendeteksi 19 pesawat militer China, delapan kapal Angkatan Laut, satu kapal pengawas, dan satu balon di sekitar wilayahnya.

Menanggapi situasi ini, Presiden Taiwan, Lai Ching-te, berharap parlemen yang dikuasai oposisi dapat merevisi anggaran pertahanan untuk memperkuat kemampuan militer Taiwan menghadapi ancaman eksternal.

Trump Dorong Elon Musk Audit Pentagon: Temukan Penipuan dan Pemborosan Militer

Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa ia berharap Elon Musk, sekutunya yang juga pemimpin Tesla dan SpaceX, akan menemukan miliaran dolar penipuan dan pemborosan di Pentagon, setelah Musk ditunjuk untuk memimpin audit pemerintah AS guna memangkas jumlah tenaga kerja federal. Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, Trump menyatakan bahwa dia yakin audit ini akan mengungkap ratusan juta hingga miliaran dolar penyalahgunaan anggaran di departemen pertahanan terbesar AS.

Anggaran Pentagon sendiri hampir mencapai USD1 triliun setiap tahunnya, dan pada Desember lalu, Presiden Joe Biden menandatangani RUU yang mengesahkan anggaran pertahanan sebesar USD895 miliar untuk tahun fiskal yang berakhir pada 30 September. Musk, yang dikenal sebagai miliarder sayap kanan dan memiliki perusahaan besar dengan kontrak militer, telah ditunjuk oleh Gedung Putih untuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang baru dibentuk. Musk akan memegang akses ke informasi sensitif dalam sistem komputer pemerintah untuk menjalankan tugas audit tersebut.

Walaupun kritik terhadap pemborosan Pentagon sudah ada sejak lama, beberapa pihak menyatakan kekhawatiran terkait kemungkinan kebocoran informasi rahasia, serta potensi kehancuran lembaga tersebut tanpa persetujuan dari Kongres. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai potensi konflik kepentingan, mengingat perusahaan Musk memiliki kontrak besar dengan Pentagon. Pada Sabtu lalu, seorang hakim AS mengeluarkan perintah darurat yang memblokir DOGE untuk mengakses data sensitif warga AS yang ada di sistem pembayaran Departemen Keuangan.

Namun, meskipun ada sejumlah kekhawatiran, Trump tampaknya semakin mendukung gagasan ini. Ia bahkan mengatakan bahwa ia akan segera meminta Musk untuk memeriksa Departemen Pendidikan, lalu melanjutkan ke militer dalam waktu singkat. Penasihat Keamanan Nasional, Mike Waltz, juga menilai bahwa pembuatan kapal di Pentagon bisa menjadi salah satu area yang menarik dalam audit ini.