Bank Menghadapi Dampak Tarif Trump: Strategi Bertahan dalam Krisis Ekonomi

Kebijakan kenaikan tarif impor yang diterapkan Amerika Serikat terhadap 185 negara, termasuk Indonesia, telah memicu kekhawatiran terkait gangguan dalam rantai pasok global serta potensi terjadinya pelambatan ekonomi dunia. Anton Hermawan, Presiden Direktur Krom Bank Indonesia, menyatakan bahwa dampak dari perang dagang yang dimulai oleh Presiden Donald Trump berpotensi mengancam sektor perbankan, terutama yang berhubungan dengan Dolar AS.

Dampak langsung kebijakan ini dapat terlihat pada penurunan indeks saham global, termasuk IHSG, serta pelemahan nilai tukar Rupiah. Bank-bank yang terlibat dalam pinjaman berbasis Dolar AS juga turut terdampak, sementara likuiditas semakin menipis akibat meningkatnya arus keluar modal. Anton mengingatkan bahwa kondisi ini membutuhkan kewaspadaan yang tinggi dari semua pihak dalam industri keuangan, termasuk bank digital.

Walaupun bank digital tidak terlalu terpengaruh oleh fluktuasi nilai tukar, mereka tetap menghadapi risiko penurunan daya beli masyarakat yang dapat berdampak pada kinerja mereka. Oleh karena itu, bank digital kini lebih berhati-hati dalam memberikan pinjaman dan lebih fokus pada penguatan sistem analisis risiko. Menjaga kestabilan likuiditas menjadi hal utama untuk mempertahankan ketahanan bisnis mereka di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai bagaimana sektor perbankan menghadapinya, Anda dapat menyaksikan dialog lengkap bersama Anton Hermawan dalam program Power Lunch bersama Anneke Wijaya.

Tarif Baru AS Memicu Ketidakpastian Ekonomi Global: Pasar Saham Tertekan dan Inflasi Mengancam

Keputusan terbaru Amerika Serikat untuk menaikkan tarif terhadap tiga negara mitra ekonominya menambah ketidakpastian di pasar global. Ekonomi dunia kini menghadapi risiko tambahan yang dipicu oleh kebijakan proteksionis ini, yang dapat memicu perang dagang baru dan mengancam proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Dampak langsungnya mulai terasa pada awal Februari 2025, dengan bursa saham di Asia mengalami penurunan signifikan. Di Jepang dan Korea Selatan, harga saham turun lebih dari 2 persen, sementara saham perusahaan-perusahaan otomotif besar seperti Toyota, Honda, dan Nissan juga merosot tajam.

Selain itu, harga minyak mengalami lonjakan lebih dari 2 dolar AS per barel, sementara harga bensin berjangka naik lebih dari 3 persen. Keputusan Gedung Putih yang menaikkan tarif ini belum dilengkapi dengan rincian lengkap, yang menimbulkan kekhawatiran tentang dampak dan durasinya. Banyak analis mengkhawatirkan penurunan pendapatan perusahaan AS dan kenaikan inflasi yang lebih tinggi sebagai efek dari kebijakan tarif tersebut.

Mata uang negara-negara yang terdampak, seperti yuan China, peso Meksiko, dan dollar Kanada, mengalami pelemahan signifikan. Ini menambah tekanan terhadap perekonomian negara-negara tersebut dan memperburuk ketidakpastian yang dihadapi oleh pasar global. Selain itu, inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga barang konsumsi, terutama bahan makanan, kendaraan, dan barang elektronik, mulai menjadi perhatian. Para investor khawatir bahwa hal ini akan mengganggu pemulihan ekonomi AS yang masih dalam tahap pemulihan.