IHSG Menguat di Tengah Sikap Wait and See Pasar Menjelang Rilis Data Ekonomi

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin dibuka menguat di tengah pelaku pasar yang masih bersikap wait and see terhadap sejumlah data ekonomi domestik yang akan dirilis pekan ini. IHSG tercatat naik sebesar 37,31 poin atau 0,56 persen ke level 6.716,22, sementara indeks LQ45 yang berisi 45 saham unggulan turut menguat 5,64 poin atau 0,75 persen ke posisi 755,66. Menurut Head of Retail Research BNI Sekuritas, Fanny Suherman, IHSG masih berpeluang untuk melanjutkan penguatan sepanjang hari ini.

Dari dalam negeri, pelaku pasar menantikan beberapa rilis penting, seperti data inflasi indeks harga konsumen (IHK), laporan keuangan bank-bank besar, serta data indeks manufaktur. Pekan lalu, Bank Indonesia memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya di angka 5,75 persen, sejalan dengan upaya menjaga stabilitas inflasi dalam target 2,5 plus minus 1 persen untuk 2025 dan 2026.

Dari luar negeri, China mengumumkan penghapusan beberapa tarif impor dari Amerika Serikat, meskipun menolak klaim negosiasi dari Presiden AS Donald Trump. Gedung Putih menyatakan bahwa jalur komunikasi masih terbuka, menjadi sinyal positif dalam meredakan ketegangan perang dagang. Bursa saham Eropa juga mencatatkan penguatan, dengan indeks STOXX 600 naik 0,3 persen dan seluruh indeks utama seperti DAX, FTSE, dan CAC turut mencetak kenaikan. Wall Street pun ditutup menguat, dengan Nasdaq memimpin kenaikan sebesar 1,26 persen. Di kawasan Asia, pergerakan bursa campur aduk, di mana Nikkei dan Kuala Lumpur menguat, sementara Shanghai dan Strait Times mengalami pelemahan.

Bursa Saham Paling Menguntungkan Sepanjang 10 Tahun Terakhir

Selama sepuluh tahun terakhir, pasar saham global menghadapi berbagai tantangan besar, mulai dari perang dagang yang dimulai pada 2018, dampak pandemi Covid-19 di 2020, hingga ketegangan perdagangan yang kembali memanas antara Amerika Serikat dan China. Meski demikian, bursa saham Amerika Serikat dan India berhasil mencatatkan pertumbuhan yang mengesankan, sementara pasar China malah mengalami penurunan yang signifikan.

Menurut data yang dirilis CNBC Research Indonesia, indeks NASDAQ di Amerika Serikat mencatatkan pertumbuhan terbesar dengan kenaikan 239,03% dalam sepuluh tahun terakhir, yang setara dengan Compound Annual Growth Rate (CAGR) sebesar 12,99%. Di posisi kedua, indeks SENSEX dari India mengalami pertumbuhan 190,06% (CAGR 11,24%), sementara S&P 500 di Amerika Serikat mengikuti dengan kenaikan 160,15% (CAGR 10,03%). Indeks Bovespa dari Brasil juga menunjukkan performa positif dengan kenaikan 142,27% (CAGR 9,25%).

Di sisi lain, indeks Dow Jones tumbuh sebesar 122,30% (CAGR 8,32%), diikuti oleh bursa saham Jerman, DAX, dengan kenaikan 83,33% (CAGR 6,25%) dan Jepang melalui Nikkei 225 sebesar 77,55% (CAGR 5,91%). Beberapa negara lain seperti Afrika Selatan, Kanada, dan Italia juga mencatatkan pertumbuhan meski di bawah 6%. Namun, pasar saham China mengalami penurunan yang cukup tajam. Indeks Shanghai Composite turun -24,19%, sementara Shenzhen Component anjlok hingga -31,82%. Indonesia sendiri mencatatkan kenaikan moderat sebesar 28,11% (CAGR 2,51%), sedikit lebih baik dibandingkan dengan Meksiko yang tumbuh 23,19% (CAGR 2,11%).

Rupiah Tertekan, Ekonomi “Kurang Darah” di Tengah Kebijakan BI yang Tertahan

Nilai tukar rupiah kembali melemah pada Rabu di tengah kondisi likuiditas ekonomi domestik yang sangat terbatas. Rully Nova, analis dari Bank Woori Saudara, menyebut bahwa perekonomian saat ini tengah mengalami krisis likuiditas, diibaratkan seperti tubuh yang kekurangan darah. Menurutnya, kondisi ini bisa menimbulkan stagnasi ekonomi jika tidak segera diatasi.

Ia menyarankan perlunya langkah kebijakan yang inovatif guna mendorong kelancaran arus dana dan menggairahkan kembali aktivitas ekonomi. Dalam analogi yang ia sampaikan, kredit bank adalah darah dan bank adalah jantung. Sayangnya, jantung perekonomian saat ini dinilainya sedang tidak berfungsi optimal, menandakan lemahnya dorongan dari sektor perbankan.

Sementara itu, Bank Indonesia melalui Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung pada 22 dan 23 April 2025, memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan (BI-Rate) di level 5,75 persen. Suku bunga untuk fasilitas simpanan tetap di 5 persen, sedangkan fasilitas pinjaman tetap berada di angka 6,5 persen. Meski keputusan ini dinilai tepat, Rully menilai kebijakan tersebut belum memberikan pengaruh positif terhadap penguatan nilai rupiah.

Dari sisi lain, pasar saham Indonesia mulai menunjukkan pemulihan dengan kenaikan 1,2 persen di sesi pertama perdagangan, dan imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun juga menurun ke level 6,951 persen, menandakan berakhirnya aksi jual investor asing. Namun, dari sisi global, indeks dolar AS meningkat ke angka 100, naik 1 persen dari hari sebelumnya, turut menekan posisi rupiah yang ditutup melemah 12 poin ke Rp16.872 per dolar AS. Kurs JISDOR juga mencatat pelemahan ke level Rp16.880 per dolar.

Modal Asing Kabur Rp11,96 Triliun, BI Perkuat Strategi Hadapi Tekanan Global

Bank Indonesia (BI) mencatat terjadinya arus keluar modal asing bersih dari pasar keuangan domestik sebesar Rp11,96 triliun dalam periode transaksi 14 hingga 16 April 2025. Data ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, yang menyebutkan bahwa arus keluar tersebut berasal dari pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masing-masing sebesar Rp13,01 triliun dan Rp2,24 triliun. Di sisi lain, pasar Surat Berharga Negara (SBN) justru mengalami arus masuk modal asing bersih sebesar Rp3,28 triliun, sehingga total arus keluar bersih tetap berada di angka Rp11,96 triliun.

Sepanjang tahun 2025 hingga 16 April, akumulasi modal asing keluar bersih dari pasar saham telah mencapai Rp36,86 triliun, sementara dari SRBI tercatat Rp7,94 triliun. Sementara itu, pasar SBN masih menjadi tujuan investasi dengan arus masuk bersih sebesar Rp9,63 triliun. Di tengah dinamika ini, premi risiko investasi Indonesia yang tercermin dari credit default swaps (CDS) tenor 5 tahun justru menurun dari 111,73 basis poin menjadi 106,39 basis poin.

Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami penguatan tipis pada Kamis, 17 April 2025, di level Rp16.810 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya di Rp16.820. Indeks dolar AS (DXY) juga terpantau melemah ke 99,38. Imbal hasil SBN 10 tahun tetap stabil di angka 6,93 persen, sedangkan yield US Treasury Note 10 tahun turun ke 4,277 persen. Bank Indonesia menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan lembaga terkait serta mengoptimalkan bauran kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal ekonomi nasional.

IHSG Tertekan, Bahana Sekuritas Optimistis Indonesia Masih di Zona Goldilocks Ekonomi

Kepala Riset Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menilai bahwa perekonomian Indonesia relatif tahan terhadap gejolak perdagangan global dan berpotensi mengalami pemulihan berbentuk kurva V, seiring masuknya likuiditas asing ke dalam negeri. Di tengah penurunan ETF ekuitas Indonesia yang mencapai 10 persen saat pasar lokal tutup selama libur panjang Idulfitri, Satria memperkirakan pemutus arus akan aktif saat pembukaan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Namun demikian, peluang kemunculan investor institusional asing maupun domestik tetap terbuka, terutama karena posisi kas yang telah menguat sebelum libur panjang.

Satria menyebut ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya berkontribusi 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), menjadikannya salah satu negara dengan ketergantungan terendah di Asia Tenggara terhadap pasar AS. Meskipun produk Indonesia kini dikenakan tarif 32 persen, beban ini masih lebih rendah dibanding negara pesaing seperti Bangladesh dan Vietnam yang menghadapi tarif hingga 49 persen. Situasi ini, menurutnya, menempatkan Indonesia dalam posisi strategis, ditopang oleh harga minyak yang menurun, penurunan suku bunga global, serta stabilitas domestik.

Depresiasi rupiah sebesar 11 persen dalam enam bulan terakhir dinilai menjadi lindung nilai alami terhadap tekanan tarif. Hal ini juga berpotensi memperkuat daya saing ekspor dan menarik minat investor asing terhadap aset lokal. Bahana Sekuritas melihat bahwa dampak tarif baru terhadap laba emiten Indonesia akan minim, bahkan margin perusahaan dapat terdorong positif karena kombinasi pelemahan rupiah dan penurunan harga minyak. Satria optimistis bahwa pasar akan pulih cepat begitu ada sinyal pelemahan dari kebijakan Presiden AS Donald Trump.

Dampak Tarif Impor Trump: Pasar Saham dan Kripto Tertekan, Emas Melonjak

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali membuat gebrakan dengan mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang langsung mengguncang pasar keuangan. Langkah ini menyebabkan tekanan pada pasar saham serta aset kripto. Setelah pengumuman detail tarif, Bitcoin yang sempat menyentuh level USD 87.000 mengalami penurunan ke USD 83.000. Sementara itu, indeks saham utama AS juga merosot, dengan Nasdaq 100 turun 2,3 persen dan S&P 500 melemah 1,7 persen dalam perdagangan setelah jam kerja.

Saham teknologi menjadi yang paling terdampak dalam tekanan ini. Beberapa raksasa teknologi seperti Tesla dan Palantir anjlok sekitar 8 persen, Apple turun 7 persen, sedangkan Amazon dan Nvidia masing-masing kehilangan 6 persen nilainya. Saham perusahaan besar lainnya seperti Nike dan Walmart juga ikut terseret, mencatatkan penurunan sekitar 7 persen.

Di sisi lain, situasi ketidakpastian ini mendorong investor beralih ke aset yang lebih aman, menyebabkan harga emas melonjak hingga mendekati rekor USD 3.200 per ounce. Kebijakan tarif baru yang diterapkan mencakup tarif impor 25 persen untuk kendaraan bermotor mulai 3 April, serta tarif umum 10 persen yang berlaku pada 5 April. Beberapa negara dikenakan tarif khusus, dengan China menghadapi 34 persen, Vietnam 46 persen, Taiwan 32 persen, Korea Selatan 25 persen, Uni Eropa 20 persen, Swiss 31 persen, serta Indonesia 32 persen.

Trump menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk melindungi ekonomi AS dari praktik perdagangan yang dianggap tidak adil selama puluhan tahun. Namun, analis melihat langkah ini bisa memicu inflasi dan menghambat pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Jika dampak ekonomi semakin besar dan menyebabkan peningkatan pengangguran atau resesi, kemungkinan besar The Fed akan mempertimbangkan langkah-langkah stimulus, termasuk pemangkasan suku bunga.

Meski pasar tengah mengalami tekanan, beberapa investor melihat situasi ini sebagai peluang untuk membeli aset di harga rendah atau buy on weakness. Tren akumulasi Bitcoin oleh institusi juga masih terlihat cukup kuat, salah satunya GameStop yang dikabarkan memiliki dana segar sebesar USD 1,5 miliar yang kemungkinan akan digunakan untuk membeli Bitcoin. Bagi investor pemula, strategi investasi bertahap seperti dollar cost averaging (DCA) bisa menjadi pilihan aman di tengah volatilitas pasar. Strategi ini memungkinkan investor untuk mengakumulasi aset secara bertahap dan mendapatkan harga rata-rata yang lebih baik, sehingga ketika pasar pulih, portofolio yang telah dibangun berpotensi memberikan hasil optimal.

Fokus Prabowo pada Ketahanan Pangan, Investor Pasar Saham Cemas?

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa ketahanan pangan menjadi prioritas utama pemerintahannya, meskipun hal itu dapat berdampak pada fluktuasi pasar saham. Sikap ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan analis pasar modal yang menilai bahwa ketidakpedulian terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa berdampak pada stagnasi ekonomi. Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menilai Prabowo seharusnya menyeimbangkan perhatian antara kebutuhan masyarakat bawah dan investasi sektor atas, termasuk pasar modal. Menurutnya, jika pemerintah terlalu berfokus pada konsumsi masyarakat tanpa mempertimbangkan investasi, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat.

Ibrahim menyoroti pentingnya dukungan investor dalam mewujudkan program-program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis dan Danantara. Jika investasi tidak diperhatikan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diharapkan Prabowo mungkin sulit tercapai. Selain itu, ia menekankan bahwa stabilitas ekonomi dan kepastian hukum adalah faktor utama bagi investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah mendorong stimulus ekonomi yang mencakup berbagai sektor agar pertumbuhan ekonomi tidak mandek di angka 5 persen.

Sementara itu, analis pasar modal dari Panin Sekuritas, Felix Darmawan, menilai pernyataan Prabowo yang mengesampingkan pasar saham dapat menurunkan kepercayaan investor. Hal ini bisa memberikan kesan bahwa stabilitas pasar saham bukan prioritas, sehingga investor lokal maupun asing menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Meskipun ketahanan pangan dan energi memang penting, Felix berpendapat bahwa fluktuasi pasar saham tetap perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang.

Dalam Sidang Kabinet di Istana Negara, Prabowo menegaskan bahwa ketahanan pangan lebih penting daripada pergerakan pasar saham. Baginya, selama pasokan pangan masyarakat tetap terjamin, negara akan tetap stabil meskipun harga saham mengalami naik turun. Pernyataan ini menegaskan komitmen Prabowo dalam menjaga kebutuhan dasar rakyat di tengah perubahan ekonomi global yang tidak menentu.

Modal Asing Keluar, Rupiah Melemah dan IHSG Terkoreksi

Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik mencapai Rp 4,25 triliun dalam periode 17-20 Maret 2025. Sepanjang pekan tersebut, nilai tukar rupiah melemah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan hingga sempat dihentikan sementara dalam perdagangan. Pada penutupan Kamis, 20 Maret 2025, rupiah berada di level Rp 16.470 per dolar AS, sementara pada Jumat pagi, mata uang Garuda dibuka sedikit melemah di Rp 16.480 per dolar AS. Data Bloomberg mencatat bahwa rupiah kembali turun 16,50 poin atau 0,11 persen ke level Rp 16.501 per dolar AS pada akhir perdagangan Jumat.

IHSG juga menunjukkan pelemahan sepanjang pekan 17-21 Maret 2025, dengan penurunan sebesar 3,95 persen dari level 6.515,631 menjadi 6.258,179. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengungkapkan bahwa pada periode tersebut, investor asing mencatatkan jual neto sebesar Rp 4,25 triliun, terdiri dari Rp 4,78 triliun di pasar saham dan Rp 0,67 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Sementara itu, pasar Surat Berharga Negara (SBN) masih mencatat beli neto sebesar Rp 1,20 triliun. Secara akumulatif sejak awal 2025 hingga 20 Maret, investor asing telah melakukan jual neto sebesar Rp 28,10 triliun di pasar saham, sedangkan di pasar SBN dan SRBI terjadi beli neto masing-masing Rp 23,87 triliun dan Rp 8,58 triliun. Hal ini mencerminkan preferensi investor terhadap instrumen pendapatan tetap di tengah volatilitas pasar saham.

Selain itu, premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun meningkat menjadi 88,51 basis poin (bps) pada 20 Maret 2025, naik dari 81,20 bps pada 14 Maret 2025. Kenaikan ini menunjukkan meningkatnya persepsi risiko terhadap pasar keuangan domestik. Bank Indonesia menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait guna menjaga stabilitas ekonomi nasional serta mengoptimalkan bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan ekonomi Indonesia di tengah gejolak pasar keuangan global.

IHSG Berpeluang Menguat, Saham Perbankan dan Energi Jadi Sorotan

Head of Research Retail MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana alias Didit, menyampaikan bahwa jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menembus level 6.682, maka masih ada peluang untuk menguji area penguatan terdekat di kisaran 6.686 hingga 6.762. Namun, jika gagal melewati level tersebut, IHSG masih berisiko terkoreksi ke rentang 6.408 hingga 6.484. Lebih lanjut, Didit menambahkan bahwa IHSG berpotensi bergerak dalam rentang level support di 6.361 atau 6.246, sementara level resistance berada di kisaran 6.698 hingga 6.818.

Sejumlah saham direkomendasikan MNC Sekuritas untuk dicermati dalam perdagangan hari ini. Salah satunya adalah PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), yang mengalami kenaikan 1,95 persen ke level 1.305 dengan volume pembelian yang cukup kuat. Saham ini masih memiliki peluang untuk melanjutkan penguatan dengan target harga di kisaran 1.350 hingga 1.415, sementara level stoploss berada di bawah 1.230. Selain itu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga menunjukkan pergerakan positif dengan kenaikan 2,64 persen ke level 3.890. Meski masih ada potensi koreksi dalam skenario tertentu, jika BBRI mampu menembus level 3.990, potensi kenaikan ke level 4.050 hingga 4.290 semakin terbuka. Sementara itu, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menguat 2,95 persen ke level 4.880 dengan dominasi volume pembelian. Jika tren positif berlanjut, saham ini berpotensi mencapai target harga di 5.050 hingga 5.550, dengan level stoploss di bawah 4.330.

Di sisi lain, PT Harum Energy Tbk (HRUM) mengalami koreksi 1,97 persen ke level 745 akibat tekanan jual yang meningkat. Dengan tren ini, HRUM masih berpotensi melanjutkan koreksi hingga menguji level 600 hingga 660. Sementara itu, investor asing tercatat melakukan pembelian bersih sebesar Rp148,58 miliar di semua pasar dan Rp188,05 miliar di pasar reguler. Di sisi lain, mereka juga mencatatkan penjualan bersih senilai Rp39,47 miliar di pasar negosiasi dan tunai. Dengan dinamika yang terjadi, rotasi sektor dan strategi investasi berbasis teknikal menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan di tengah volatilitas pasar yang masih tinggi.

Investor Diminta Siapkan Strategi Adaptif di Tengah Ketidakpastian Global

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat perang tarif, volatilitas pasar keuangan, dan kebijakan moneter yang belum pasti, investor perlu menerapkan strategi investasi yang lebih adaptif. Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada keseimbangan antara konsumsi domestik dan investasi jangka panjang.

Menurutnya, konsumsi dalam negeri masih melemah, terlihat dari kontribusi konsumsi terhadap PDB yang sebelum pandemi berada di kisaran 55-58 persen, namun kini turun menjadi 54 persen. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk menopang daya beli masyarakat, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), kenaikan upah minimum, penyesuaian gaji aparatur sipil negara (ASN), serta pembatalan kenaikan PPN. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, mengingat konsumsi berkontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, investasi tetap menjadi prioritas utama untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sebesar 8 persen guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional di level yang sama. Salah satu kebijakan strategis yang diterapkan adalah pembentukan Danantara untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara, meskipun transparansi dalam implementasinya masih menjadi perhatian.

Ketidakpastian global turut memberikan tekanan pada pasar saham Indonesia yang mengalami penurunan signifikan, sementara pasar obligasi masih menunjukkan ketahanan. Stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor utama dalam memulihkan kepercayaan investor. Sejarah mencatat bahwa pasar saham Indonesia cenderung mengalami pertumbuhan ketika nilai tukar rupiah stabil atau menguat. Selain itu, kebijakan Bank Indonesia yang masih membuka peluang pemangkasan suku bunga turut meningkatkan daya tarik pasar obligasi bagi investor asing.

Sementara itu, dampak langsung pengenaan tarif 25 persen terhadap baja Indonesia oleh AS dinilai terbatas, mengingat ekspor baja hanya mencakup 0,07 persen dari total ekspor nasional. Namun, risiko tidak langsung dari perlambatan perdagangan global tetap menjadi perhatian utama, terutama terkait dengan potensi penurunan permintaan ekspor dan kenaikan harga barang impor.

Lebih lanjut, arah kebijakan moneter The Fed dan BI masih menunjukkan pendekatan yang hati-hati. The Fed diproyeksikan akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin tahun ini, sementara BI tetap fokus menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan BI Rate berada di kisaran 5,25-5,50 persen hingga akhir tahun.