Kebijakan Tarif Trump: Ancaman Perang Dagang dan Dampaknya

Pemerintah Amerika Serikat mengonfirmasi bahwa Presiden Donald Trump akan menerapkan tarif impor baru pada Rabu ini. Meskipun Gedung Putih belum merinci daftar tarif yang diberlakukan, kebijakan ini diperkirakan akan berdampak pada sektor bisnis, konsumen, dan investor, serta berisiko memperburuk ketegangan perdagangan global. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menjelaskan bahwa tarif timbal balik akan diberlakukan terhadap negara-negara yang mengenakan bea masuk terhadap barang AS, dengan besaran tarif yang akan diumumkan langsung oleh Trump. Selain itu, tarif sebesar 25 persen akan diterapkan pada impor kendaraan.

Trump sebelumnya telah menaikkan bea masuk untuk aluminium dan baja serta meningkatkan tarif atas produk-produk asal China. Namun, ia juga kerap mengancam untuk menerapkan tarif tambahan, meskipun beberapa kali menundanya atau membatalkan kebijakan tersebut. Pernyataan Leavitt kali ini mengisyaratkan bahwa Trump serius dalam melanjutkan kebijakan tarifnya. Pejabat Gedung Putih bahkan mempertimbangkan opsi tarif sebesar 20 persen untuk sebagian besar negara, yang berpotensi meningkatkan pendapatan AS hingga lebih dari USD 6 triliun.

Sementara itu, menurut Wall Street Journal, Perwakilan Dagang AS tengah mempersiapkan opsi tarif yang lebih fleksibel untuk beberapa negara. Di sisi lain, laporan dari China mengungkapkan bahwa perwakilan perdagangan dari China, Jepang, dan Korea Selatan telah bertemu untuk membahas upaya memperlancar perdagangan bebas di kawasan. Namun, Kementerian Perdagangan Korea Selatan menyatakan pertemuan tersebut hanya sekadar bertukar pandangan mengenai perdagangan global. Menteri Perdagangan Korea Selatan, Ahn Duk-geun, menegaskan pentingnya memperkuat implementasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan memperluas kerja sama melalui negosiasi perjanjian perdagangan bebas antara ketiga negara. Meski RCEP telah berlaku sejak 2022, kemajuan signifikan dalam pembicaraan perdagangan bilateral antara ketiga negara tersebut masih belum tercapai sejak dimulai pada 2012.

Trump dan Putin Sepakat Hentikan Serangan ke Infrastruktur, Perdamaian Ukraina Masih Dipertanyakan

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mencapai kesepakatan awal terkait upaya mengakhiri konflik di Ukraina. Pada Selasa (18/3), Gedung Putih mengumumkan bahwa kedua pemimpin tersebut sepakat memulai langkah perdamaian dengan menghentikan serangan terhadap infrastruktur energi dan fasilitas penting lainnya di Ukraina. Trump juga menegaskan bahwa tujuan akhir dari upaya ini adalah mewujudkan perdamaian yang abadi serta memperbaiki hubungan antara AS dan Rusia.

Dalam percakapan teleponnya dengan Putin, Trump dan timnya optimistis bahwa jalan menuju perdamaian dapat dimulai dengan mengupayakan gencatan senjata selama 30 hari. Namun, pengumuman dari Gedung Putih tidak menyebutkan apakah Putin telah menerima proposal tersebut secara penuh. Sebaliknya, Rusia hanya menyatakan kesediaannya untuk sementara waktu menghentikan serangan terhadap sasaran energi dan infrastruktur. Selain itu, kesepakatan juga mencakup negosiasi teknis mengenai gencatan senjata maritim di Laut Hitam, yang diharapkan menjadi langkah menuju penghentian konflik secara keseluruhan.

Diketahui, perundingan untuk mengimplementasikan rencana ini akan segera dimulai di Timur Tengah. Setelah pertemuan dengan pejabat tinggi AS di Arab Saudi pekan lalu, Ukraina menyatakan kesiapannya untuk menerima proposal gencatan senjata yang diusulkan oleh pemerintahan Trump. Sementara itu, Putin menyatakan dukungan prinsipil terhadap usulan tersebut, meskipun ia menegaskan bahwa masih ada isu penting yang harus diselesaikan sebelum Rusia bersedia menghentikan perang sepenuhnya.

Saat ini, negosiasi yang dipimpin oleh AS masih berlangsung, namun Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy tetap berhati-hati dalam menanggapi inisiatif ini. Ia masih meragukan kesungguhan Putin dalam mencapai kesepakatan damai yang benar-benar langgeng bagi Ukraina.