Sri Mulyani Gaspol Deregulasi: Lawan Guncangan Global, Ringankan Beban Pelaku Usaha

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan komitmennya dalam menyederhanakan regulasi fiskal guna memperkuat ketahanan ekonomi nasional di tengah ketidakpastian global. Dalam unggahan terbarunya di Instagram, ia menekankan pentingnya menjaga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tetap sehat, fleksibel, dan kredibel melalui berbagai reformasi seperti deregulasi, debirokratisasi, serta penyederhanaan aturan. Upaya tersebut merupakan bentuk nyata dari arahan Presiden Prabowo Subianto yang meminta tim ekonomi Kabinet Merah Putih untuk berkolaborasi melakukan pembenahan regulasi agar lebih ramah bagi dunia usaha. Sri Mulyani juga menekankan bahwa pengelolaan APBN harus tetap cermat namun mampu beradaptasi terhadap dinamika global. Langkah-langkah koordinatif antara kebijakan fiskal dan moneter terus diperkuat demi menjaga stabilitas, kepercayaan publik, dan kesejahteraan rakyat. Dalam sebuah acara sarasehan ekonomi bersama Presiden, Sri Mulyani mengumumkan empat langkah strategis untuk meringankan beban tarif pelaku usaha sebagai respon atas kebijakan tarif impor dari pemerintahan Donald Trump yang menaikkan tarif produk Indonesia hingga 32 persen. Empat langkah tersebut meliputi penyederhanaan administrasi perpajakan dan kepabeanan, penurunan tarif PPh impor dari 2,5 persen menjadi 0,5 persen, penyesuaian tarif bea masuk produk asal AS dalam kategori most favored nation, serta koreksi tarif bea keluar untuk minyak sawit mentah (CPO). Total pengurangan beban tarif dari langkah-langkah ini mencapai 14 persen, menekan beban tarif bersih menjadi 18 persen.

Ketegangan Meningkat: China dan Prancis Kompak Tolak Tarif Impor Baru dari Trump

China dan Prancis menyatakan penolakan keras terhadap rencana tarif impor baru yang diumumkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Sebagai respons, China justru mengambil langkah balasan yang tegas dengan menetapkan tarif sebesar 34 persen atas seluruh barang yang diimpor dari AS. Tarif tersebut akan mulai diberlakukan pada 10 April 2025, sebagaimana disampaikan oleh Kementerian Keuangan China melalui laporan yang dikutip dari Reuters.

Langkah ini merupakan respons atas kebijakan tarif ganda dari AS terhadap China, yakni sebesar 20 persen dan tambahan 34 persen. Pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan ini bertujuan melindungi keamanan nasional serta memenuhi kewajiban internasional, termasuk prinsip non-proliferasi. Sebagai bagian dari strategi pembalasan, China juga menerapkan pembatasan ekspor logam tanah jarang ke AS, mencakup elemen penting seperti samarium, gadolinium, terbium, dysprosium, lutetium, scandium, dan yttrium. Pembatasan ini telah berlaku sejak 4 April 2025.

Tak berhenti di situ, Beijing juga menambahkan 16 entitas asal AS ke dalam daftar kontrol ekspor, yang artinya perusahaan-perusahaan ini tidak lagi diperbolehkan menerima produk dengan potensi penggunaan ganda dari China. Selain itu, 11 perusahaan AS lainnya masuk ke dalam daftar “entitas tidak dapat diandalkan”, memungkinkan pemerintah China menjatuhkan sanksi lebih lanjut.

Sementara itu, Prancis melalui Presiden Emmanuel Macron dan Menteri Ekonomi Eric Lombard menyerukan agar perusahaan nasional menangguhkan investasi di AS sebagai bentuk perlawanan ekonomi. Lombard bahkan menyebut bahwa pembalasan dari Uni Eropa akan dilakukan, meski tidak harus dalam bentuk tarif, tetapi bisa menggunakan pendekatan strategis lain yang sama kuatnya.

Metode Tarif Impor Trump Dinilai Asal-Asalan, Indonesia Kena Imbas 32 Persen

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait penerapan tarif impor ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Menurutnya, keputusan AS menetapkan tarif 32 persen terhadap produk asal Indonesia tidak didasari oleh perhitungan ekonomi yang jelas. Ia menilai pendekatan yang digunakan pemerintah AS hanya berdasarkan asumsi tanpa pertimbangan mendalam terhadap data faktual.

Fadhil menjelaskan bahwa Pemerintah AS menganggap Indonesia sebelumnya telah mengenakan tarif sebesar 64 persen terhadap produk asal Negeri Paman Sam. Padahal, tarif riil yang diberlakukan Indonesia hanya sekitar 8 hingga 9 persen. Ia menduga angka 64 persen itu dihitung berdasarkan rasio antara nilai surplus perdagangan Indonesia terhadap AS, yakni sekitar USD 16,8 miliar, dengan total impor AS dari Indonesia yang mencapai USD 28 miliar. Dari perhitungan tersebut, AS kemudian menetapkan tarif balasan sebesar setengahnya, yaitu 32 persen.

Meskipun demikian, Fadhil menilai dampaknya terhadap perekonomian Indonesia masih dalam taraf moderat karena RI tidak terlalu menggantungkan ekspor ke pasar AS. Beberapa sektor yang kemungkinan terkena dampak adalah tekstil, garmen, alas kaki, serta minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Selain itu, Fadhil mengingatkan potensi efek lanjutan seperti depresiasi nilai tukar rupiah akibat tekanan inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, ia menyarankan agar Indonesia mulai mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dan memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara lain yang lebih terbuka.

Dampak Tarif Impor Trump: Pasar Saham dan Kripto Tertekan, Emas Melonjak

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali membuat gebrakan dengan mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang langsung mengguncang pasar keuangan. Langkah ini menyebabkan tekanan pada pasar saham serta aset kripto. Setelah pengumuman detail tarif, Bitcoin yang sempat menyentuh level USD 87.000 mengalami penurunan ke USD 83.000. Sementara itu, indeks saham utama AS juga merosot, dengan Nasdaq 100 turun 2,3 persen dan S&P 500 melemah 1,7 persen dalam perdagangan setelah jam kerja.

Saham teknologi menjadi yang paling terdampak dalam tekanan ini. Beberapa raksasa teknologi seperti Tesla dan Palantir anjlok sekitar 8 persen, Apple turun 7 persen, sedangkan Amazon dan Nvidia masing-masing kehilangan 6 persen nilainya. Saham perusahaan besar lainnya seperti Nike dan Walmart juga ikut terseret, mencatatkan penurunan sekitar 7 persen.

Di sisi lain, situasi ketidakpastian ini mendorong investor beralih ke aset yang lebih aman, menyebabkan harga emas melonjak hingga mendekati rekor USD 3.200 per ounce. Kebijakan tarif baru yang diterapkan mencakup tarif impor 25 persen untuk kendaraan bermotor mulai 3 April, serta tarif umum 10 persen yang berlaku pada 5 April. Beberapa negara dikenakan tarif khusus, dengan China menghadapi 34 persen, Vietnam 46 persen, Taiwan 32 persen, Korea Selatan 25 persen, Uni Eropa 20 persen, Swiss 31 persen, serta Indonesia 32 persen.

Trump menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk melindungi ekonomi AS dari praktik perdagangan yang dianggap tidak adil selama puluhan tahun. Namun, analis melihat langkah ini bisa memicu inflasi dan menghambat pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Jika dampak ekonomi semakin besar dan menyebabkan peningkatan pengangguran atau resesi, kemungkinan besar The Fed akan mempertimbangkan langkah-langkah stimulus, termasuk pemangkasan suku bunga.

Meski pasar tengah mengalami tekanan, beberapa investor melihat situasi ini sebagai peluang untuk membeli aset di harga rendah atau buy on weakness. Tren akumulasi Bitcoin oleh institusi juga masih terlihat cukup kuat, salah satunya GameStop yang dikabarkan memiliki dana segar sebesar USD 1,5 miliar yang kemungkinan akan digunakan untuk membeli Bitcoin. Bagi investor pemula, strategi investasi bertahap seperti dollar cost averaging (DCA) bisa menjadi pilihan aman di tengah volatilitas pasar. Strategi ini memungkinkan investor untuk mengakumulasi aset secara bertahap dan mendapatkan harga rata-rata yang lebih baik, sehingga ketika pasar pulih, portofolio yang telah dibangun berpotensi memberikan hasil optimal.

Kebijakan Tarif Trump: Ancaman Perang Dagang dan Dampaknya

Pemerintah Amerika Serikat mengonfirmasi bahwa Presiden Donald Trump akan menerapkan tarif impor baru pada Rabu ini. Meskipun Gedung Putih belum merinci daftar tarif yang diberlakukan, kebijakan ini diperkirakan akan berdampak pada sektor bisnis, konsumen, dan investor, serta berisiko memperburuk ketegangan perdagangan global. Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menjelaskan bahwa tarif timbal balik akan diberlakukan terhadap negara-negara yang mengenakan bea masuk terhadap barang AS, dengan besaran tarif yang akan diumumkan langsung oleh Trump. Selain itu, tarif sebesar 25 persen akan diterapkan pada impor kendaraan.

Trump sebelumnya telah menaikkan bea masuk untuk aluminium dan baja serta meningkatkan tarif atas produk-produk asal China. Namun, ia juga kerap mengancam untuk menerapkan tarif tambahan, meskipun beberapa kali menundanya atau membatalkan kebijakan tersebut. Pernyataan Leavitt kali ini mengisyaratkan bahwa Trump serius dalam melanjutkan kebijakan tarifnya. Pejabat Gedung Putih bahkan mempertimbangkan opsi tarif sebesar 20 persen untuk sebagian besar negara, yang berpotensi meningkatkan pendapatan AS hingga lebih dari USD 6 triliun.

Sementara itu, menurut Wall Street Journal, Perwakilan Dagang AS tengah mempersiapkan opsi tarif yang lebih fleksibel untuk beberapa negara. Di sisi lain, laporan dari China mengungkapkan bahwa perwakilan perdagangan dari China, Jepang, dan Korea Selatan telah bertemu untuk membahas upaya memperlancar perdagangan bebas di kawasan. Namun, Kementerian Perdagangan Korea Selatan menyatakan pertemuan tersebut hanya sekadar bertukar pandangan mengenai perdagangan global. Menteri Perdagangan Korea Selatan, Ahn Duk-geun, menegaskan pentingnya memperkuat implementasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan memperluas kerja sama melalui negosiasi perjanjian perdagangan bebas antara ketiga negara. Meski RCEP telah berlaku sejak 2022, kemajuan signifikan dalam pembicaraan perdagangan bilateral antara ketiga negara tersebut masih belum tercapai sejak dimulai pada 2012.

Ketegangan Baru di Perdagangan Global: Trump Siapkan Kebijakan, China, Jepang, dan Korea Selatan Bersiap

Presiden Donald Trump dikabarkan akan segera mengumumkan kebijakan perang dagang terbaru pada Rabu (2/4). Rencana tersebut memicu reaksi dari tiga negara besar di Asia, yaitu China, Jepang, dan Korea Selatan, yang segera menggelar pertemuan untuk membahas strategi menghadapi kebijakan ekonomi AS yang baru. Menurut sebuah unggahan di Weibo oleh akun Yuyuan Tantian, yang terafiliasi dengan China Central Television (CCTV), para menteri perdagangan dari ketiga negara itu bertemu untuk mempercepat diskusi mengenai perjanjian perdagangan bebas guna menjaga stabilitas perdagangan regional dan global.

Kerja sama ini dinilai penting karena Jepang dan Korea Selatan bergantung pada impor bahan baku semikonduktor dari China, sementara China juga memiliki kepentingan dalam membeli produk chip dari kedua negara tersebut. Namun, Juru Bicara Kementerian Perdagangan Korea Selatan membantah bahwa pertemuan ini bertujuan untuk menyepakati perjanjian perdagangan bebas. Ia menegaskan bahwa ketiga negara hanya bertukar pandangan mengenai situasi perdagangan global dan berbagi pemahaman tentang pentingnya menjaga kerja sama ekonomi.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Jepang juga menyangkal adanya pembahasan terkait kesepakatan perdagangan khusus dengan China dan Korea Selatan. Spekulasi tentang pertemuan ini mencuat karena Jepang dan Korea Selatan selama ini dikenal sebagai mitra dagang utama AS. Di sisi lain, kebijakan proteksionisme yang diusung Trump semakin agresif sejak ia dilantik sebagai Presiden AS pada Januari 2025. Selain menargetkan China, Trump juga berencana menerapkan tarif impor tinggi bagi Kanada, Meksiko, dan bahkan Rusia, yang disebut akan menghadapi tarif impor sekunder hingga 50 persen bagi negara-negara yang membeli minyak dari mereka.

Jepang Cemas: Tarif Impor Trump Picu Ketegangan Dagang Global

Jepang tengah diliputi kekhawatiran setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memicu perang dagang dengan memberlakukan tarif impor tinggi terhadap sejumlah negara. Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, menilai kebijakan ini dimanfaatkan Trump sebagai alat negosiasi ekonomi.

“Kami khawatir atas situasi ini,” ujar Masaki kepada awak media dalam acara Perayaan Ulang Tahun Kaisar Jepang di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Kamis (20/2). Ia menambahkan bahwa kebijakan tarif terhadap China berdampak negatif bagi perekonomian global. Masaki menyatakan bahwa kebijakan semacam ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia dan memperburuk hubungan perdagangan antarnegara.

Sebelumnya, Trump mengumumkan tarif impor sebesar 10 persen untuk produk asal China. Sebagai balasan, China menetapkan tarif 15 persen untuk impor batu bara dan gas alam cair (LNG) dari AS, yang akan berlaku mulai 10 Februari 2025, menurut Komisi Tarif Bea Cukai Dewan Negara China. Langkah saling balas ini memicu kekhawatiran akan potensi eskalasi konflik dagang yang dapat memengaruhi sektor bisnis global.

Masaki menekankan pentingnya kerja sama multilateral antara Jepang, Indonesia, dan negara lainnya untuk meyakinkan AS agar mematuhi aturan perdagangan internasional. Menurutnya, pendekatan kolektif dapat mendorong AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya. “Kita harus menghindari eskalasi perang dagang, baik antara China dan AS maupun negara lainnya,” tegasnya.

Langkah Trump ini bertujuan melindungi dan memperkuat perekonomian AS. Namun, dampaknya telah memicu kekhawatiran global karena berpotensi mengganggu stabilitas perdagangan internasional. Negara-negara di seluruh dunia kini menghadapi tantangan untuk menjaga keseimbangan ekonomi sambil meredam dampak negatif dari kebijakan proteksionisme AS. Situasi ini memerlukan diplomasi yang cermat agar konflik dagang tidak semakin meluas dan merugikan berbagai sektor ekonomi di tingkat global.