Bank Indonesia mencatat adanya arus keluar bersih modal asing dari pasar keuangan domestik sebesar Rp24,04 triliun pada periode transaksi 8 hingga 10 April 2025. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, menjelaskan bahwa penarikan dana ini terjadi secara signifikan di tiga instrumen utama yakni Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Surat Berharga Negara (SBN), dan saham. Ketiganya masing-masing mencatatkan jual bersih sebesar Rp10,47 triliun, Rp7,84 triliun, dan Rp5,73 triliun. Meski demikian, jika melihat data secara kumulatif sejak awal tahun atau year to date hingga 10 April 2025, pasar SRBI dan SBN masih mencatatkan aliran dana asing masuk masing-masing sebesar Rp7,11 triliun dan Rp13,05 triliun. Sebaliknya, pasar saham justru mencatatkan keluarnya modal asing bersih sebesar Rp32,48 triliun sepanjang tahun berjalan. Selain itu, premi risiko investasi Indonesia dalam bentuk credit default swaps (CDS) untuk tenor lima tahun juga meningkat, dari 105,75 basis poin per 4 April menjadi 113,35 basis poin per 10 April 2025, mengindikasikan sentimen kehati-hatian investor global terhadap kondisi pasar domestik. Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada Jumat (11/4) dibuka sedikit menguat di level Rp16.780, dibandingkan dengan penutupan hari sebelumnya di level Rp16.795. Indeks dolar AS (DXY) yang menunjukkan kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia, tercatat melemah ke angka 100,87. Imbal hasil SBN tenor 10 tahun juga menunjukkan peningkatan ke 7,06 persen, sementara yield obligasi pemerintah AS untuk tenor serupa naik ke 4,425 persen.
Tag: Nilai Tukar Rupiah
Metode Tarif Impor Trump Dinilai Asal-Asalan, Indonesia Kena Imbas 32 Persen
Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait penerapan tarif impor ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Menurutnya, keputusan AS menetapkan tarif 32 persen terhadap produk asal Indonesia tidak didasari oleh perhitungan ekonomi yang jelas. Ia menilai pendekatan yang digunakan pemerintah AS hanya berdasarkan asumsi tanpa pertimbangan mendalam terhadap data faktual.
Fadhil menjelaskan bahwa Pemerintah AS menganggap Indonesia sebelumnya telah mengenakan tarif sebesar 64 persen terhadap produk asal Negeri Paman Sam. Padahal, tarif riil yang diberlakukan Indonesia hanya sekitar 8 hingga 9 persen. Ia menduga angka 64 persen itu dihitung berdasarkan rasio antara nilai surplus perdagangan Indonesia terhadap AS, yakni sekitar USD 16,8 miliar, dengan total impor AS dari Indonesia yang mencapai USD 28 miliar. Dari perhitungan tersebut, AS kemudian menetapkan tarif balasan sebesar setengahnya, yaitu 32 persen.
Meskipun demikian, Fadhil menilai dampaknya terhadap perekonomian Indonesia masih dalam taraf moderat karena RI tidak terlalu menggantungkan ekspor ke pasar AS. Beberapa sektor yang kemungkinan terkena dampak adalah tekstil, garmen, alas kaki, serta minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Selain itu, Fadhil mengingatkan potensi efek lanjutan seperti depresiasi nilai tukar rupiah akibat tekanan inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, ia menyarankan agar Indonesia mulai mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dan memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara lain yang lebih terbuka.