Strategi Cerdas RI Hadapi Gempuran Tarif Trump: Diversifikasi, Hilirisasi, dan Diplomasi

Indonesia perlu terus memperkuat strategi diversifikasi pasar ekspor untuk mengantisipasi kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai langkah ini harus dibarengi dengan pemanfaatan peluang dari pergeseran rantai pasok global serta optimalisasi sektor unggulan yang mendapatkan tarif preferensial lebih rendah seperti produk tekstil dan alas kaki. Menurutnya, tarif yang lebih ringan untuk Indonesia dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja, membuka ruang ekspansi pasar yang lebih luas. Untuk menunjang itu, ia menekankan pentingnya deregulasi terhadap Non-Tariff Measures (NTM), peningkatan efisiensi logistik, serta percepatan proses perizinan yang selama ini menjadi hambatan. Meskipun terjadi tekanan pada IHSG dan nilai tukar rupiah, fundamental ekonomi Indonesia dinilai tetap kokoh dengan cadangan devisa dan perbankan yang kuat. Namun, tantangan tetap ada dari sisi ketergantungan terhadap ekspor komoditas yang harganya fluktuatif akibat lemahnya permintaan global. Josua merekomendasikan peningkatan daya saing industri padat karya lewat insentif fiskal dan kemudahan bahan baku, serta percepatan ratifikasi perjanjian dagang strategis seperti RCEP, CPTPP, EU-CEPA, dan BRICS+. Ia juga mendorong optimalisasi devisa hasil ekspor SDA dan hilirisasi sektor industri. Menurutnya, pendekatan Indonesia yang menghindari retaliasi langsung dan lebih memilih negosiasi bilateral serta jalur multilateral seperti TIFA menunjukkan kedewasaan dan strategi adaptif dalam menghadapi tantangan proteksionisme global.

Metode Tarif Impor Trump Dinilai Asal-Asalan, Indonesia Kena Imbas 32 Persen

Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait penerapan tarif impor ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Menurutnya, keputusan AS menetapkan tarif 32 persen terhadap produk asal Indonesia tidak didasari oleh perhitungan ekonomi yang jelas. Ia menilai pendekatan yang digunakan pemerintah AS hanya berdasarkan asumsi tanpa pertimbangan mendalam terhadap data faktual.

Fadhil menjelaskan bahwa Pemerintah AS menganggap Indonesia sebelumnya telah mengenakan tarif sebesar 64 persen terhadap produk asal Negeri Paman Sam. Padahal, tarif riil yang diberlakukan Indonesia hanya sekitar 8 hingga 9 persen. Ia menduga angka 64 persen itu dihitung berdasarkan rasio antara nilai surplus perdagangan Indonesia terhadap AS, yakni sekitar USD 16,8 miliar, dengan total impor AS dari Indonesia yang mencapai USD 28 miliar. Dari perhitungan tersebut, AS kemudian menetapkan tarif balasan sebesar setengahnya, yaitu 32 persen.

Meskipun demikian, Fadhil menilai dampaknya terhadap perekonomian Indonesia masih dalam taraf moderat karena RI tidak terlalu menggantungkan ekspor ke pasar AS. Beberapa sektor yang kemungkinan terkena dampak adalah tekstil, garmen, alas kaki, serta minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Selain itu, Fadhil mengingatkan potensi efek lanjutan seperti depresiasi nilai tukar rupiah akibat tekanan inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, ia menyarankan agar Indonesia mulai mengurangi ketergantungan terhadap pasar AS dan memperluas kerja sama perdagangan dengan negara-negara lain yang lebih terbuka.