BI Diprediksi Tahan Suku Bunga di 5,75 Persen, Stabilitas Rupiah Jadi Prioritas

Ekonom LPEM FEB UI Teuku Riefky memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mempertahankan suku bunga acuannya pada level 5,75 persen dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2025. Menurutnya, meskipun inflasi saat ini masih berada di bawah target 2,5 persen plus minus 1 persen, tekanan harga yang meningkat selama periode Ramadhan dan Idul Fitri dapat mendorong inflasi kembali ke kisaran target dalam beberapa bulan mendatang. Oleh karena itu, kebijakan moneter yang stabil dinilai lebih tepat dalam menjaga keseimbangan ekonomi.

Selain faktor domestik, Riefky juga menyoroti risiko eksternal yang dapat mempengaruhi keputusan BI. Ketidakpastian di pasar keuangan global, terutama akibat kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump yang memicu ketegangan tarif dengan Uni Eropa dan negara-negara di Amerika Utara, menjadi salah satu faktor yang perlu diperhitungkan. Di sisi lain, Federal Reserve (The Fed) masih bersikap hati-hati terhadap pelonggaran moneter, sementara ketidakpastian kebijakan ekonomi AS menambah tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Riefky menegaskan bahwa keputusan The Fed terkait suku bunga akan diumumkan dalam waktu yang berdekatan dengan pertemuan BI. Jika BI memutuskan untuk menurunkan suku bunga, hal tersebut berpotensi memperlemah rupiah lebih lanjut. Oleh karena itu, menurutnya, menjaga stabilitas nilai tukar dan ketahanan pasar keuangan harus menjadi prioritas utama bagi BI dengan tetap mempertahankan suku bunga di level saat ini.

Pendapat senada juga disampaikan oleh Chief Economist Bank BCA David Sumual, yang menilai bahwa deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir hanya bersifat sementara. Dengan masih adanya ketidakpastian terkait perang dagang dan kebijakan suku bunga The Fed, sementara rupiah masih berada di bawah tekanan, mempertahankan suku bunga BI di level 5,75 persen dinilai sebagai langkah yang paling bijak untuk menjaga stabilitas ekonomi.

AS Eksplorasi Opsi Relokasi Warga Gaza di Tengah Kontroversi

Amerika Serikat tengah mempertimbangkan berbagai kemungkinan terkait relokasi warga Palestina setelah mantan Presiden Donald Trump mengusulkan pengambilalihan Jalur Gaza. Utusan khusus AS, Steve Witkoff, mengungkapkan bahwa pemerintahannya sedang mengeksplorasi berbagai alternatif yang dapat meningkatkan kualitas hidup warga Gaza sekaligus memperhitungkan kepentingan Israel. Dalam wawancara dengan CBS News, Witkoff menegaskan bahwa Washington sedang mencari solusi terbaik dalam menangani konflik tersebut.

Bulan lalu, Trump mengusulkan agar AS mengambil kendali atas Gaza dan menjadikannya sebagai “Riviera Timur Tengah” dengan memindahkan warga Palestina ke negara-negara tetangga seperti Yordania dan Mesir. Gagasan tersebut memicu kecaman keras dari berbagai pihak, termasuk Palestina, negara-negara Arab, serta negara-negara seperti Kanada, Prancis, Jerman, dan Inggris. Banyak pihak menilai bahwa usulan ini tidak realistis dan berpotensi memperburuk situasi di kawasan. Meski demikian, AS saat ini lebih fokus pada upaya mencari resolusi konflik yang berkelanjutan dan menghindari ketegangan yang lebih besar.

Pekan lalu di Qatar, Witkoff bersama Direktur Senior Dewan Keamanan Nasional AS untuk Timur Tengah dan Afrika Utara, Eric Trager, memperkenalkan sebuah proposal “jembatan” yang bertujuan memberi ruang untuk perundingan menuju gencatan senjata permanen. Witkoff menyebut proposal itu sebagai langkah yang masuk akal guna mencapai solusi jangka panjang. Rencana tersebut mencakup upaya demiliterisasi Hamas, yang menjadi syarat mutlak bagi Israel, serta kemungkinan perundingan lebih lanjut demi terciptanya perdamaian yang berkelanjutan.

Dalam perkembangannya, berbagai negara terus melakukan diplomasi intensif untuk mencari jalan keluar atas konflik berkepanjangan ini. Beberapa pihak mendukung solusi dua negara sebagai jalan terbaik, sementara yang lain menekankan pentingnya penghentian kekerasan dan pemulihan kondisi kemanusiaan di Gaza. Sementara itu, tekanan terhadap Israel dan Hamas terus meningkat dari komunitas internasional untuk segera mencapai kesepakatan gencatan senjata.

Di sisi lain, nasib warga Palestina tetap menjadi perhatian utama dalam diskusi global. Krisis kemanusiaan yang memburuk di Gaza telah meningkatkan seruan bagi bantuan internasional dan solusi yang lebih konkret. Organisasi kemanusiaan dan badan PBB terus mengingatkan bahwa situasi di Gaza semakin genting, dengan keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, dan layanan kesehatan.

Seiring upaya diplomasi yang terus berlangsung, banyak pihak menantikan apakah inisiatif AS dan negara-negara lain dapat membawa perubahan signifikan dalam konflik ini atau justru memperpanjang ketidakpastian bagi warga Palestina dan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan.

Putin Setuju Gencatan Senjata, tapi Inginkan Solusi Jangka Panjang

Presiden Rusia Vladimir Putin mengonfirmasi bahwa Moskow menyetujui usulan gencatan senjata di Ukraina yang diajukan oleh Amerika Serikat. Namun, ia menekankan bahwa penghentian permusuhan ini harus disertai dengan penyelesaian mendalam atas akar permasalahan konflik. Dalam konferensi pers bersama Presiden Belarusia Alexander Lukashenko di Moskow pada Kamis, Putin menyatakan bahwa negaranya mendukung pendekatan damai untuk mengakhiri perang, tetapi langkah tersebut harus membawa perdamaian yang langgeng.

Putin juga mengapresiasi perhatian yang diberikan Presiden AS Donald Trump terhadap upaya penyelesaian konflik. Meski demikian, ia menegaskan bahwa Rusia akan mengambil keputusan lebih lanjut berdasarkan perkembangan situasi di medan perang. Menurutnya, gencatan senjata adalah langkah positif, tetapi masih banyak hal yang harus dibahas dengan mitra Amerika. Ia bahkan menyebut kemungkinan menghubungi Trump untuk membicarakan lebih lanjut mengenai mekanisme penghentian perang ini.

Putin mengingatkan bahwa pemantauan gencatan senjata akan menjadi tantangan besar mengingat panjangnya garis depan antara Rusia dan Ukraina. Di sisi lain, ia menyebut bahwa kondisi di wilayah perbatasan Kursk—tempat Ukraina sebelumnya melancarkan serangan—saat ini sudah berada di bawah kendali penuh militer Rusia. Dengan demikian, menurutnya, Ukraina memiliki kepentingan besar untuk menerima gencatan senjata 30 hari yang telah disepakati dalam perundingan di Jeddah, Arab Saudi.

Ukraina sebelumnya menyatakan dukungannya terhadap gencatan senjata setelah pembicaraan yang dihadiri oleh delegasi AS yang dipimpin Menteri Luar Negeri Marco Rubio dan Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz. Meski pernyataan bersama yang dikeluarkan pascapertemuan tidak mencantumkan jaminan keamanan dari AS jika Rusia melanggar kesepakatan, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memastikan bahwa hal tersebut tetap menjadi bagian dari diskusi lebih lanjut.

Setelah Jeda Kontroversial, AS Kembali Kirim Bantuan Militer untuk Ukraina

Pemerintahan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump kembali melanjutkan pengiriman bantuan militer dan intelijen untuk Ukraina setelah Kiev menerima proposal gencatan senjata selama 30 hari yang diusulkan oleh Washington. Gedung Putih mengonfirmasi keputusan tersebut pada Rabu, sehari setelah adanya kemajuan dalam perundingan antara delegasi AS dan Ukraina di Arab Saudi.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, James Hewitt, memastikan bahwa bantuan kembali dikirim hanya satu hari setelah pertemuan tingkat tinggi antara kedua negara. Bantuan ini termasuk peluru artileri, senjata anti-tank, dan sistem roket HIMARS yang sebelumnya telah disetujui di era pemerintahan Biden. Menurut seorang pejabat AS yang enggan disebutkan namanya, pengiriman bantuan sempat dihentikan sejak pertemuan Oval Office pada 28 Februari, di mana Presiden Trump dan Wakil Presiden JD Vance secara terbuka mengkritik Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy atas kurangnya rasa terima kasih terhadap dukungan AS selama bertahun-tahun.

Perselisihan tersebut menyebabkan pembatalan kesepakatan eksploitasi mineral strategis Ukraina yang rencananya akan diteken hari itu, meskipun negosiasi terus berlangsung. Di sisi lain, utusan khusus Trump, Steve Witkoff, menegaskan bahwa aliran intelijen AS untuk pertahanan Ukraina tidak pernah benar-benar dihentikan meski ada ketegangan politik. Bahkan, beberapa senjata yang sebelumnya tertahan setelah pertemuan di Arab Saudi sudah berada di Polandia ketika Trump memerintahkan penghentian bantuan.

Menteri Pertahanan Polandia, Pawe Zalewski, mengumumkan bahwa pengiriman senjata yang disimpan di Rzeszow, dekat perbatasan Ukraina, telah kembali berjalan. Selain itu, kontraktor yang membantu pelatihan dan pemeliharaan peralatan militer AS di Ukraina juga kembali beroperasi. Namun, masih belum jelas apakah mereka sempat meninggalkan Ukraina selama jeda bantuan berlangsung.

Jepang Cemas: Tarif Impor Trump Picu Ketegangan Dagang Global

Jepang tengah diliputi kekhawatiran setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memicu perang dagang dengan memberlakukan tarif impor tinggi terhadap sejumlah negara. Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masaki Yasushi, menilai kebijakan ini dimanfaatkan Trump sebagai alat negosiasi ekonomi.

“Kami khawatir atas situasi ini,” ujar Masaki kepada awak media dalam acara Perayaan Ulang Tahun Kaisar Jepang di Hotel St. Regis, Jakarta Selatan, Kamis (20/2). Ia menambahkan bahwa kebijakan tarif terhadap China berdampak negatif bagi perekonomian global. Masaki menyatakan bahwa kebijakan semacam ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia dan memperburuk hubungan perdagangan antarnegara.

Sebelumnya, Trump mengumumkan tarif impor sebesar 10 persen untuk produk asal China. Sebagai balasan, China menetapkan tarif 15 persen untuk impor batu bara dan gas alam cair (LNG) dari AS, yang akan berlaku mulai 10 Februari 2025, menurut Komisi Tarif Bea Cukai Dewan Negara China. Langkah saling balas ini memicu kekhawatiran akan potensi eskalasi konflik dagang yang dapat memengaruhi sektor bisnis global.

Masaki menekankan pentingnya kerja sama multilateral antara Jepang, Indonesia, dan negara lainnya untuk meyakinkan AS agar mematuhi aturan perdagangan internasional. Menurutnya, pendekatan kolektif dapat mendorong AS untuk mempertimbangkan kembali kebijakannya. “Kita harus menghindari eskalasi perang dagang, baik antara China dan AS maupun negara lainnya,” tegasnya.

Langkah Trump ini bertujuan melindungi dan memperkuat perekonomian AS. Namun, dampaknya telah memicu kekhawatiran global karena berpotensi mengganggu stabilitas perdagangan internasional. Negara-negara di seluruh dunia kini menghadapi tantangan untuk menjaga keseimbangan ekonomi sambil meredam dampak negatif dari kebijakan proteksionisme AS. Situasi ini memerlukan diplomasi yang cermat agar konflik dagang tidak semakin meluas dan merugikan berbagai sektor ekonomi di tingkat global.

Macron Siap Gelar Pertemuan Baru Soal Ukraina, Usulkan Dukungan Terbatas

Presiden Prancis Emmanuel Macron berencana menjadi tuan rumah pertemuan lanjutan terkait konflik Ukraina, menyusul langkah Amerika Serikat (AS) dan Rusia yang dikabarkan tengah merancang kesepakatan untuk mengakhiri perang.

Dalam wawancara dengan media regional Prancis, Macron juga mendorong Presiden AS Donald Trump untuk membuka kembali dialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang menurutnya bisa lebih bermanfaat dalam mencari solusi damai.

Menariknya, Macron mengungkapkan kesiapan untuk mengirim pasukan ke Ukraina, meskipun dengan batasan tertentu. “Kami mempertimbangkan opsi pengiriman pasukan dalam skala terbatas, tetapi tidak di zona konflik langsung. Ini bertujuan untuk memberikan dukungan moral bagi Ukraina serta memperkuat solidaritas,” ujarnya, seperti dikutip dari AFP, Rabu (19/2/2025). Lebih lanjut, Macron menyebut bahwa Prancis tengah membahas langkah ini bersama Inggris.

Pernyataan Macron ini muncul setelah keputusan mengejutkan dari Trump yang kembali membuka jalur diplomasi dengan Rusia dalam upaya mencari penyelesaian atas konflik yang telah berlangsung hampir tiga tahun sejak invasi Rusia ke Ukraina. Macron, yang sebelumnya telah beberapa kali berdialog dengan Putin, menyatakan kesiapannya untuk kembali berbicara dengan pemimpin Rusia itu dalam rangka perundingan damai.

Namun, pria berusia 47 tahun tersebut menegaskan bahwa dukungan AS tetap menjadi faktor kunci bagi keamanan Ukraina. Ia juga mengusulkan pembentukan misi penjaga perdamaian di bawah mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk ditempatkan di garis depan sebagai bagian dari solusi diplomatik yang sedang dibahas.

Sementara itu, dalam pertemuan yang berlangsung di Arab Saudi pada Selasa (18/2/2025), delegasi AS dan Rusia sepakat membentuk tim khusus untuk merancang langkah-langkah penghentian perang. Di sisi lain, sejumlah negara Eropa dan non-Eropa juga bersiap untuk mengadakan pertemuan lebih lanjut guna memperkuat dukungan bagi Ukraina.

Arab Saudi Sambut Baik Pertemuan Puncak Putin-Trump, Dorong Perdamaian Ukraina

Arab Saudi menyambut baik komunikasi langsung antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, yang berlangsung melalui panggilan telepon selama hampir 90 menit pada Rabu lalu. Percakapan ini menjadi interaksi pertama yang diketahui antara kedua pemimpin sejak konflik Ukraina meningkat pada Februari 2022.

Setelah panggilan tersebut, Trump mengumumkan bahwa pembicaraan lebih lanjut akan diadakan di Arab Saudi. Riyadh pun menyatakan kesiapannya untuk menjadi tuan rumah pertemuan tingkat tinggi tersebut dan menegaskan komitmennya dalam mendukung upaya perdamaian antara Rusia dan Ukraina sejak awal konflik.

Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman, telah berulang kali menjalin komunikasi dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Putin untuk mendorong dialog damai. Pada Desember 2023, ia juga mengunjungi Rusia untuk bertemu Putin, membahas isu-isu strategis seperti konflik Ukraina, harga minyak, kebijakan OPEC+, serta ketegangan di Gaza.

Sementara itu, Trump mengumumkan bahwa pejabat Amerika dan Rusia akan bertemu di sela-sela konferensi di Munich pada Jumat, dengan Ukraina juga diundang. Namun, hingga kini belum ada konfirmasi resmi mengenai pertemuan tersebut dari penyelenggara konferensi atau media.

Di sisi lain, delegasi Amerika dan Ukraina mengadakan diskusi di sela-sela acara tersebut. Zelensky menegaskan kesiapannya untuk segera mencapai perdamaian yang konkret dan berkelanjutan, tetapi menegaskan bahwa dirinya hanya bersedia bertemu langsung dengan Putin jika ada rencana yang disepakati bersama oleh pemimpin AS dan Eropa.

Wakil Presiden AS, J.D. Vance, juga menegaskan pentingnya memulai negosiasi langsung antara Ukraina dan Rusia. “Kita harus duduk bersama dan mulai berdialog untuk menemukan solusi guna mengakhiri konflik ini,” tegasnya.

Korea Utara Kecam Rencana Trump Kuasai Gaza: Sebut AS Pemeras dan Delusi

Kantor Berita Korea Utara (KCNA) mengecam gagasan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin menguasai Jalur Gaza, menyebutnya sebagai tindakan konyol dan penuh pemerasan. Dalam pernyataannya pada Rabu (12 Februari 2025), KCNA menegaskan bahwa rencana tersebut hanya akan menghancurkan harapan rakyat Palestina akan perdamaian dan keselamatan.

Meski tidak menyebut Trump secara langsung, KCNA menyampaikan kritik tajam terhadap pengumuman AS yang ingin mengusir warga Palestina dari Gaza dan mengubah wilayah tersebut menjadi “Riviera Timur Tengah”. Istilah Riviera biasanya digunakan untuk menggambarkan kawasan pesisir yang mewah dan eksklusif, seperti French Riviera di Prancis.

KCNA juga menyinggung keinginan pemerintahan Trump untuk menguasai Terusan Panama dan Greenland, serta rencananya mengganti nama Teluk Meksiko menjadi Teluk Amerika. Menurut KCNA, langkah-langkah ini menunjukkan delusi imperialisme AS yang terus berusaha mengendalikan wilayah-wilayah strategis di dunia.

“Amerika Serikat harus sadar dari delusi kuno mereka dan segera berhenti melanggar martabat serta kedaulatan negara lain,” tegas KCNA, melabeli AS sebagai pemeras global.

Sebelumnya, Trump pernah menjalin hubungan unik dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un selama masa jabatan pertamanya. Namun, hingga saat ini, KCNA nyaris tidak memberikan komentar mengenai kepemimpinan Trump di periode kedua.

Korea Utara sendiri secara konsisten menyalahkan Israel atas konflik di Gaza dan menganggap AS turut bertanggung jawab atas eskalasi kekerasan di wilayah tersebut.

Trump Dorong Elon Musk Audit Pentagon: Temukan Penipuan dan Pemborosan Militer

Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa ia berharap Elon Musk, sekutunya yang juga pemimpin Tesla dan SpaceX, akan menemukan miliaran dolar penipuan dan pemborosan di Pentagon, setelah Musk ditunjuk untuk memimpin audit pemerintah AS guna memangkas jumlah tenaga kerja federal. Dalam sebuah wawancara dengan Fox News, Trump menyatakan bahwa dia yakin audit ini akan mengungkap ratusan juta hingga miliaran dolar penyalahgunaan anggaran di departemen pertahanan terbesar AS.

Anggaran Pentagon sendiri hampir mencapai USD1 triliun setiap tahunnya, dan pada Desember lalu, Presiden Joe Biden menandatangani RUU yang mengesahkan anggaran pertahanan sebesar USD895 miliar untuk tahun fiskal yang berakhir pada 30 September. Musk, yang dikenal sebagai miliarder sayap kanan dan memiliki perusahaan besar dengan kontrak militer, telah ditunjuk oleh Gedung Putih untuk memimpin Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) yang baru dibentuk. Musk akan memegang akses ke informasi sensitif dalam sistem komputer pemerintah untuk menjalankan tugas audit tersebut.

Walaupun kritik terhadap pemborosan Pentagon sudah ada sejak lama, beberapa pihak menyatakan kekhawatiran terkait kemungkinan kebocoran informasi rahasia, serta potensi kehancuran lembaga tersebut tanpa persetujuan dari Kongres. Selain itu, ada kekhawatiran mengenai potensi konflik kepentingan, mengingat perusahaan Musk memiliki kontrak besar dengan Pentagon. Pada Sabtu lalu, seorang hakim AS mengeluarkan perintah darurat yang memblokir DOGE untuk mengakses data sensitif warga AS yang ada di sistem pembayaran Departemen Keuangan.

Namun, meskipun ada sejumlah kekhawatiran, Trump tampaknya semakin mendukung gagasan ini. Ia bahkan mengatakan bahwa ia akan segera meminta Musk untuk memeriksa Departemen Pendidikan, lalu melanjutkan ke militer dalam waktu singkat. Penasihat Keamanan Nasional, Mike Waltz, juga menilai bahwa pembuatan kapal di Pentagon bisa menjadi salah satu area yang menarik dalam audit ini.

Zelensky Siap Jalin Kesepakatan dengan Trump: Pasok Tanah Jarang Ukraina untuk Dukung Perang?

Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, mengungkapkan kesiapannya untuk bekerja sama dengan Presiden AS, Donald Trump, dalam pengembangan sumber daya mineral strategis, khususnya logam tanah jarang. Pada Senin (3/2/2025), Trump mengusulkan agar Ukraina memasok tanah jarang kepada AS sebagai imbalan atas bantuan finansial dalam perang melawan Rusia.

Zelensky telah memasukkan rencana ini dalam strategi kemenangan yang disampaikannya kepada sekutu Kyiv, termasuk Trump, sejak musim gugur lalu. Strategi tersebut mencakup kerja sama dengan mitra asing guna memanfaatkan sumber daya mineral Ukraina yang bernilai strategis.

Tanah jarang merupakan kelompok 17 unsur logam yang digunakan dalam berbagai teknologi penting, seperti kendaraan listrik, telepon seluler, sistem persenjataan, hingga elektronik canggih. Saat ini, China mendominasi produksi tanah jarang secara global, sementara AS berupaya mengamankan pasokan alternatif.

Ukraina memiliki potensi besar dalam industri ini, dengan endapan 22 dari 34 mineral yang dikategorikan sebagai kritis oleh Uni Eropa. Beberapa mineral tersebut meliputi ferroalloy, logam mulia, serta elemen tanah jarang seperti lantanum, cerium, neodymium, erbium, dan itrium—yang memiliki aplikasi luas dalam sektor teknologi, energi hijau, dan pertahanan.

Selain itu, Ukraina juga memiliki cadangan besar litium, mangan, grafit, dan zirkonium, yang menarik minat AS. Penelitian Uni Eropa menunjukkan bahwa negara ini memiliki potensi sebagai pemasok utama skandium, sementara Forum Ekonomi Dunia mencatat bahwa Ukraina juga berperan penting dalam pasokan berilium, nikel, galium, serta fluorit.

Dengan sumber daya yang melimpah, kerja sama antara Ukraina dan AS di sektor ini dapat menjadi langkah strategis, baik untuk kepentingan geopolitik maupun ekonomi.