Modal Asing Kabur Rp11,96 Triliun, BI Perkuat Strategi Hadapi Tekanan Global

Bank Indonesia (BI) mencatat terjadinya arus keluar modal asing bersih dari pasar keuangan domestik sebesar Rp11,96 triliun dalam periode transaksi 14 hingga 16 April 2025. Data ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, yang menyebutkan bahwa arus keluar tersebut berasal dari pasar saham dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) masing-masing sebesar Rp13,01 triliun dan Rp2,24 triliun. Di sisi lain, pasar Surat Berharga Negara (SBN) justru mengalami arus masuk modal asing bersih sebesar Rp3,28 triliun, sehingga total arus keluar bersih tetap berada di angka Rp11,96 triliun.

Sepanjang tahun 2025 hingga 16 April, akumulasi modal asing keluar bersih dari pasar saham telah mencapai Rp36,86 triliun, sementara dari SRBI tercatat Rp7,94 triliun. Sementara itu, pasar SBN masih menjadi tujuan investasi dengan arus masuk bersih sebesar Rp9,63 triliun. Di tengah dinamika ini, premi risiko investasi Indonesia yang tercermin dari credit default swaps (CDS) tenor 5 tahun justru menurun dari 111,73 basis poin menjadi 106,39 basis poin.

Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami penguatan tipis pada Kamis, 17 April 2025, di level Rp16.810 per dolar AS dibandingkan hari sebelumnya di Rp16.820. Indeks dolar AS (DXY) juga terpantau melemah ke 99,38. Imbal hasil SBN 10 tahun tetap stabil di angka 6,93 persen, sedangkan yield US Treasury Note 10 tahun turun ke 4,277 persen. Bank Indonesia menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan lembaga terkait serta mengoptimalkan bauran kebijakan untuk menjaga ketahanan eksternal ekonomi nasional.

IHSG Tertekan, Bahana Sekuritas Optimistis Indonesia Masih di Zona Goldilocks Ekonomi

Kepala Riset Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menilai bahwa perekonomian Indonesia relatif tahan terhadap gejolak perdagangan global dan berpotensi mengalami pemulihan berbentuk kurva V, seiring masuknya likuiditas asing ke dalam negeri. Di tengah penurunan ETF ekuitas Indonesia yang mencapai 10 persen saat pasar lokal tutup selama libur panjang Idulfitri, Satria memperkirakan pemutus arus akan aktif saat pembukaan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Namun demikian, peluang kemunculan investor institusional asing maupun domestik tetap terbuka, terutama karena posisi kas yang telah menguat sebelum libur panjang.

Satria menyebut ekspor Indonesia ke Amerika Serikat hanya berkontribusi 2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), menjadikannya salah satu negara dengan ketergantungan terendah di Asia Tenggara terhadap pasar AS. Meskipun produk Indonesia kini dikenakan tarif 32 persen, beban ini masih lebih rendah dibanding negara pesaing seperti Bangladesh dan Vietnam yang menghadapi tarif hingga 49 persen. Situasi ini, menurutnya, menempatkan Indonesia dalam posisi strategis, ditopang oleh harga minyak yang menurun, penurunan suku bunga global, serta stabilitas domestik.

Depresiasi rupiah sebesar 11 persen dalam enam bulan terakhir dinilai menjadi lindung nilai alami terhadap tekanan tarif. Hal ini juga berpotensi memperkuat daya saing ekspor dan menarik minat investor asing terhadap aset lokal. Bahana Sekuritas melihat bahwa dampak tarif baru terhadap laba emiten Indonesia akan minim, bahkan margin perusahaan dapat terdorong positif karena kombinasi pelemahan rupiah dan penurunan harga minyak. Satria optimistis bahwa pasar akan pulih cepat begitu ada sinyal pelemahan dari kebijakan Presiden AS Donald Trump.

Dampak Tarif Impor Trump: Pasar Saham dan Kripto Tertekan, Emas Melonjak

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali membuat gebrakan dengan mengumumkan kebijakan tarif impor baru yang langsung mengguncang pasar keuangan. Langkah ini menyebabkan tekanan pada pasar saham serta aset kripto. Setelah pengumuman detail tarif, Bitcoin yang sempat menyentuh level USD 87.000 mengalami penurunan ke USD 83.000. Sementara itu, indeks saham utama AS juga merosot, dengan Nasdaq 100 turun 2,3 persen dan S&P 500 melemah 1,7 persen dalam perdagangan setelah jam kerja.

Saham teknologi menjadi yang paling terdampak dalam tekanan ini. Beberapa raksasa teknologi seperti Tesla dan Palantir anjlok sekitar 8 persen, Apple turun 7 persen, sedangkan Amazon dan Nvidia masing-masing kehilangan 6 persen nilainya. Saham perusahaan besar lainnya seperti Nike dan Walmart juga ikut terseret, mencatatkan penurunan sekitar 7 persen.

Di sisi lain, situasi ketidakpastian ini mendorong investor beralih ke aset yang lebih aman, menyebabkan harga emas melonjak hingga mendekati rekor USD 3.200 per ounce. Kebijakan tarif baru yang diterapkan mencakup tarif impor 25 persen untuk kendaraan bermotor mulai 3 April, serta tarif umum 10 persen yang berlaku pada 5 April. Beberapa negara dikenakan tarif khusus, dengan China menghadapi 34 persen, Vietnam 46 persen, Taiwan 32 persen, Korea Selatan 25 persen, Uni Eropa 20 persen, Swiss 31 persen, serta Indonesia 32 persen.

Trump menegaskan bahwa kebijakan ini dibuat untuk melindungi ekonomi AS dari praktik perdagangan yang dianggap tidak adil selama puluhan tahun. Namun, analis melihat langkah ini bisa memicu inflasi dan menghambat pemangkasan suku bunga oleh The Fed. Jika dampak ekonomi semakin besar dan menyebabkan peningkatan pengangguran atau resesi, kemungkinan besar The Fed akan mempertimbangkan langkah-langkah stimulus, termasuk pemangkasan suku bunga.

Meski pasar tengah mengalami tekanan, beberapa investor melihat situasi ini sebagai peluang untuk membeli aset di harga rendah atau buy on weakness. Tren akumulasi Bitcoin oleh institusi juga masih terlihat cukup kuat, salah satunya GameStop yang dikabarkan memiliki dana segar sebesar USD 1,5 miliar yang kemungkinan akan digunakan untuk membeli Bitcoin. Bagi investor pemula, strategi investasi bertahap seperti dollar cost averaging (DCA) bisa menjadi pilihan aman di tengah volatilitas pasar. Strategi ini memungkinkan investor untuk mengakumulasi aset secara bertahap dan mendapatkan harga rata-rata yang lebih baik, sehingga ketika pasar pulih, portofolio yang telah dibangun berpotensi memberikan hasil optimal.

Fokus Prabowo pada Ketahanan Pangan, Investor Pasar Saham Cemas?

Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa ketahanan pangan menjadi prioritas utama pemerintahannya, meskipun hal itu dapat berdampak pada fluktuasi pasar saham. Sikap ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan analis pasar modal yang menilai bahwa ketidakpedulian terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bisa berdampak pada stagnasi ekonomi. Direktur Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi, menilai Prabowo seharusnya menyeimbangkan perhatian antara kebutuhan masyarakat bawah dan investasi sektor atas, termasuk pasar modal. Menurutnya, jika pemerintah terlalu berfokus pada konsumsi masyarakat tanpa mempertimbangkan investasi, pertumbuhan ekonomi bisa terhambat.

Ibrahim menyoroti pentingnya dukungan investor dalam mewujudkan program-program pemerintah seperti Makan Bergizi Gratis dan Danantara. Jika investasi tidak diperhatikan, target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diharapkan Prabowo mungkin sulit tercapai. Selain itu, ia menekankan bahwa stabilitas ekonomi dan kepastian hukum adalah faktor utama bagi investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah mendorong stimulus ekonomi yang mencakup berbagai sektor agar pertumbuhan ekonomi tidak mandek di angka 5 persen.

Sementara itu, analis pasar modal dari Panin Sekuritas, Felix Darmawan, menilai pernyataan Prabowo yang mengesampingkan pasar saham dapat menurunkan kepercayaan investor. Hal ini bisa memberikan kesan bahwa stabilitas pasar saham bukan prioritas, sehingga investor lokal maupun asing menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Meskipun ketahanan pangan dan energi memang penting, Felix berpendapat bahwa fluktuasi pasar saham tetap perlu diperhatikan karena berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi jangka panjang.

Dalam Sidang Kabinet di Istana Negara, Prabowo menegaskan bahwa ketahanan pangan lebih penting daripada pergerakan pasar saham. Baginya, selama pasokan pangan masyarakat tetap terjamin, negara akan tetap stabil meskipun harga saham mengalami naik turun. Pernyataan ini menegaskan komitmen Prabowo dalam menjaga kebutuhan dasar rakyat di tengah perubahan ekonomi global yang tidak menentu.

Modal Asing Keluar, Rupiah Melemah dan IHSG Terkoreksi

Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa modal asing yang keluar dari pasar keuangan domestik mencapai Rp 4,25 triliun dalam periode 17-20 Maret 2025. Sepanjang pekan tersebut, nilai tukar rupiah melemah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan signifikan hingga sempat dihentikan sementara dalam perdagangan. Pada penutupan Kamis, 20 Maret 2025, rupiah berada di level Rp 16.470 per dolar AS, sementara pada Jumat pagi, mata uang Garuda dibuka sedikit melemah di Rp 16.480 per dolar AS. Data Bloomberg mencatat bahwa rupiah kembali turun 16,50 poin atau 0,11 persen ke level Rp 16.501 per dolar AS pada akhir perdagangan Jumat.

IHSG juga menunjukkan pelemahan sepanjang pekan 17-21 Maret 2025, dengan penurunan sebesar 3,95 persen dari level 6.515,631 menjadi 6.258,179. Kepala Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, mengungkapkan bahwa pada periode tersebut, investor asing mencatatkan jual neto sebesar Rp 4,25 triliun, terdiri dari Rp 4,78 triliun di pasar saham dan Rp 0,67 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI). Sementara itu, pasar Surat Berharga Negara (SBN) masih mencatat beli neto sebesar Rp 1,20 triliun. Secara akumulatif sejak awal 2025 hingga 20 Maret, investor asing telah melakukan jual neto sebesar Rp 28,10 triliun di pasar saham, sedangkan di pasar SBN dan SRBI terjadi beli neto masing-masing Rp 23,87 triliun dan Rp 8,58 triliun. Hal ini mencerminkan preferensi investor terhadap instrumen pendapatan tetap di tengah volatilitas pasar saham.

Selain itu, premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor lima tahun meningkat menjadi 88,51 basis poin (bps) pada 20 Maret 2025, naik dari 81,20 bps pada 14 Maret 2025. Kenaikan ini menunjukkan meningkatnya persepsi risiko terhadap pasar keuangan domestik. Bank Indonesia menegaskan akan terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan otoritas terkait guna menjaga stabilitas ekonomi nasional serta mengoptimalkan bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan ekonomi Indonesia di tengah gejolak pasar keuangan global.

IHSG Berpeluang Menguat, Saham Perbankan dan Energi Jadi Sorotan

Head of Research Retail MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana alias Didit, menyampaikan bahwa jika Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menembus level 6.682, maka masih ada peluang untuk menguji area penguatan terdekat di kisaran 6.686 hingga 6.762. Namun, jika gagal melewati level tersebut, IHSG masih berisiko terkoreksi ke rentang 6.408 hingga 6.484. Lebih lanjut, Didit menambahkan bahwa IHSG berpotensi bergerak dalam rentang level support di 6.361 atau 6.246, sementara level resistance berada di kisaran 6.698 hingga 6.818.

Sejumlah saham direkomendasikan MNC Sekuritas untuk dicermati dalam perdagangan hari ini. Salah satunya adalah PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), yang mengalami kenaikan 1,95 persen ke level 1.305 dengan volume pembelian yang cukup kuat. Saham ini masih memiliki peluang untuk melanjutkan penguatan dengan target harga di kisaran 1.350 hingga 1.415, sementara level stoploss berada di bawah 1.230. Selain itu, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) juga menunjukkan pergerakan positif dengan kenaikan 2,64 persen ke level 3.890. Meski masih ada potensi koreksi dalam skenario tertentu, jika BBRI mampu menembus level 3.990, potensi kenaikan ke level 4.050 hingga 4.290 semakin terbuka. Sementara itu, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) menguat 2,95 persen ke level 4.880 dengan dominasi volume pembelian. Jika tren positif berlanjut, saham ini berpotensi mencapai target harga di 5.050 hingga 5.550, dengan level stoploss di bawah 4.330.

Di sisi lain, PT Harum Energy Tbk (HRUM) mengalami koreksi 1,97 persen ke level 745 akibat tekanan jual yang meningkat. Dengan tren ini, HRUM masih berpotensi melanjutkan koreksi hingga menguji level 600 hingga 660. Sementara itu, investor asing tercatat melakukan pembelian bersih sebesar Rp148,58 miliar di semua pasar dan Rp188,05 miliar di pasar reguler. Di sisi lain, mereka juga mencatatkan penjualan bersih senilai Rp39,47 miliar di pasar negosiasi dan tunai. Dengan dinamika yang terjadi, rotasi sektor dan strategi investasi berbasis teknikal menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan di tengah volatilitas pasar yang masih tinggi.

Investor Diminta Siapkan Strategi Adaptif di Tengah Ketidakpastian Global

PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai bahwa di tengah meningkatnya ketidakpastian global akibat perang tarif, volatilitas pasar keuangan, dan kebijakan moneter yang belum pasti, investor perlu menerapkan strategi investasi yang lebih adaptif. Investment Specialist MAMI, Dimas Ardhinugraha, menyoroti bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini bergantung pada keseimbangan antara konsumsi domestik dan investasi jangka panjang.

Menurutnya, konsumsi dalam negeri masih melemah, terlihat dari kontribusi konsumsi terhadap PDB yang sebelum pandemi berada di kisaran 55-58 persen, namun kini turun menjadi 54 persen. Pemerintah telah mengambil berbagai langkah untuk menopang daya beli masyarakat, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), kenaikan upah minimum, penyesuaian gaji aparatur sipil negara (ASN), serta pembatalan kenaikan PPN. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka pendek, mengingat konsumsi berkontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat Indonesia.

Di sisi lain, investasi tetap menjadi prioritas utama untuk menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pemerintah menargetkan pertumbuhan investasi sebesar 8 persen guna mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional di level yang sama. Salah satu kebijakan strategis yang diterapkan adalah pembentukan Danantara untuk mengoptimalkan pengelolaan aset negara, meskipun transparansi dalam implementasinya masih menjadi perhatian.

Ketidakpastian global turut memberikan tekanan pada pasar saham Indonesia yang mengalami penurunan signifikan, sementara pasar obligasi masih menunjukkan ketahanan. Stabilitas nilai tukar dan pelonggaran likuiditas menjadi faktor utama dalam memulihkan kepercayaan investor. Sejarah mencatat bahwa pasar saham Indonesia cenderung mengalami pertumbuhan ketika nilai tukar rupiah stabil atau menguat. Selain itu, kebijakan Bank Indonesia yang masih membuka peluang pemangkasan suku bunga turut meningkatkan daya tarik pasar obligasi bagi investor asing.

Sementara itu, dampak langsung pengenaan tarif 25 persen terhadap baja Indonesia oleh AS dinilai terbatas, mengingat ekspor baja hanya mencakup 0,07 persen dari total ekspor nasional. Namun, risiko tidak langsung dari perlambatan perdagangan global tetap menjadi perhatian utama, terutama terkait dengan potensi penurunan permintaan ekspor dan kenaikan harga barang impor.

Lebih lanjut, arah kebijakan moneter The Fed dan BI masih menunjukkan pendekatan yang hati-hati. The Fed diproyeksikan akan menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin tahun ini, sementara BI tetap fokus menjaga keseimbangan antara stabilitas nilai tukar dan pertumbuhan ekonomi, dengan perkiraan BI Rate berada di kisaran 5,25-5,50 persen hingga akhir tahun.

Tarif Baru AS Memicu Ketidakpastian Ekonomi Global: Pasar Saham Tertekan dan Inflasi Mengancam

Keputusan terbaru Amerika Serikat untuk menaikkan tarif terhadap tiga negara mitra ekonominya menambah ketidakpastian di pasar global. Ekonomi dunia kini menghadapi risiko tambahan yang dipicu oleh kebijakan proteksionis ini, yang dapat memicu perang dagang baru dan mengancam proyeksi pertumbuhan ekonomi global. Dampak langsungnya mulai terasa pada awal Februari 2025, dengan bursa saham di Asia mengalami penurunan signifikan. Di Jepang dan Korea Selatan, harga saham turun lebih dari 2 persen, sementara saham perusahaan-perusahaan otomotif besar seperti Toyota, Honda, dan Nissan juga merosot tajam.

Selain itu, harga minyak mengalami lonjakan lebih dari 2 dolar AS per barel, sementara harga bensin berjangka naik lebih dari 3 persen. Keputusan Gedung Putih yang menaikkan tarif ini belum dilengkapi dengan rincian lengkap, yang menimbulkan kekhawatiran tentang dampak dan durasinya. Banyak analis mengkhawatirkan penurunan pendapatan perusahaan AS dan kenaikan inflasi yang lebih tinggi sebagai efek dari kebijakan tarif tersebut.

Mata uang negara-negara yang terdampak, seperti yuan China, peso Meksiko, dan dollar Kanada, mengalami pelemahan signifikan. Ini menambah tekanan terhadap perekonomian negara-negara tersebut dan memperburuk ketidakpastian yang dihadapi oleh pasar global. Selain itu, inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga barang konsumsi, terutama bahan makanan, kendaraan, dan barang elektronik, mulai menjadi perhatian. Para investor khawatir bahwa hal ini akan mengganggu pemulihan ekonomi AS yang masih dalam tahap pemulihan.